Tentang Permainan Kesukaanmu, Apakah Itu Masih Aku?

Posted by Aulia RA , Monday, 17 August 2015 00:37

Aku menulis ini karena terinspirasi dari kalimat seseorang.

Mainan favoritmu, apa masih aku?

Haha, lucu memang. Ternyata aku begitu menikmati permainan yang kamu buat. Awalnya aku ragu, tapi lama-lama aku mau ikut bermain. Lama dan lama sekali aku makin terhanyut. Tidak sadar diri. Sampai-sampai lupa waktu aku telah bermain terlalu lama. Lupa diri bahkan. Asik, iya asik. Senang, ya senang memang. Aku sangat sangat sangat menikmati. Aku ibarat anak kecil yang kamu iming-imingi uang lima ribu agar aku terus melanjutkan permainan itu. Aku sudah ketagihan barangkali. Rasanya susah untuk berhenti. Aku belum sadar, aku masih di arenamu. 

Tiba-tiba aku mengatup. Menutup. Rapat.

Aku kaget, aku mengutuki waktu. Pun diriku. Bodoh sekali diriku. Aku baru sadar, saat aku asyik bermain mengikuti permainanmu, kamu sebenarnya juga sedang bermain di arena yang lebih luas. Arena keserakahanmu. Saat kamu sudah puas, kamu bawa semua keuntungan. Aku hanya mendapat rugi. Aku telah dibodohi. Ya, tentu saja, olehmu. Siapa lagi? Aku cukup bersyukur telah menyenangkanmu lewat permainan gila ini. Walau disisi lain aku menyesal. Aku sudah bilang, aku akan mengorbankan sesuatu asal kamu bahagia. Tapi mengapa pengorbanan itu dilukai dengan penyesalan dan kekecewaan. Apakah pengorbananku belum cukup? Apakah kamu belum puas mempermainkanku? Atau apakah permainan ini belum selesai dan kamu sedang menyusun babak-babak barunya?

Aku tahu kamu tidak menghargaiku, tidak menghormatiku, kamu menyepelekanku, kamu merugikan diriku, kamu membohongiku. Kamu sebenernya hanya hidup sendiri dan kehadiranku, yah, sebagai selingan saja. Numpang lewat istilahnya. 

Tidak, aku tidak akan balas dendam atas semua perbuatanmu. Aku hanya bisa mendoakanmu yang terbaik saja. Karena perkataan tidak mampu membuka hati nuranimu. Biar kutitipkan kataku pada Tuhan, biar dia yang membisikkan kepadamu. Aamiin. 

Pengorbanan apalagi yang harus aku beri kepadamu, "laki-laki"ku?
Tentang permainan kesukaanmu, apakah itu masih aku?

Yogyakarta, 17 Agustus 2015 | 00:35
Aulia RA | ririsaulia.tumblr.com

Waktu Aku Sama Kamu

Posted by Aulia RA , Thursday, 6 August 2015 00:40

Aku pernah lancang bilang ke kamu, "Aku nggak bahagia sama kamu!" Maafkan aku, aku sangat tidak berterimakasih ke kamu. Aku jahat. Aku egois. Sebenarnya aku belum mengerti benar definisi kebahagiaan itu seperti apa. Apakah bahagia itu jika aku punya banyak uang? Punya banyak barang mewah? Apakah ketika aku selalu mendapat hadiah dari kamu? Ucapan selamat tidur dari kamu? Tidak. Bahagia bukan itu. Sekarang aku paham, bahagia itu saat aku sama kamu. Cukup kehadiranmu saja, aku sudah sangat senang. Waktu aku sama kamu, aku lupa sejenak dengan segala permasalahan yang menimpaku. Aku senang mendengarkan ceritamu, aku senang saat kamu meledekku "ebrot" (walau sedikit kesal), aku senang memasak nasi goreng bersamamu, aku senang melihatmu menghabiskan makananku (aku sering tidak habis saat makan), aku senang melihatmu tertidur pulas apalagi sambil ngorok dan ngiler, aku senang melihat wajahmu ketika bangun tidur; wajahmu lucu seperti anak kecil yang kebingungan, dan aku senang menjadi perempuan yang kamu titipkan hatimu padanya. Ya, aku bahagia. Aku bahagia waktu sama kamu. Lewat hal-hal kecil dan sederhana, aku bahagia.

Aku jadi teringat dengan masa-masa dulu. Masa perkenalan kita. Kita dipertemukan oleh sebuah kampus. Dan ternyata kita berada di kelas yang sama. Aku benar-benar tidak menyangka. Sebuah kelas yg mayoritas anak laki-laki, ternyata ada satu lelaki yang nyantol di hatiku. Prosesnya terbilang cukup lama. Tidak langsung begitu saja. Sejak hari pertama masuk kuliah sampai berbulan-bulan sesudahnya, aku tidak merasakan apapun padamu. Aku yang begitu cuek, menutup hati, dan agak membencimu. Bukan membenci ya, lebih tepatnya kesal, karena sebuah kejadian di awal perkuliahan. 

Temanku bercerita padaku bahwa dia menanyakan soal pacarmu dan kamu jawab aku. "Pacarmu siapa?" temanku bertanya.
"Tuh, anak Temanggung," jawabmu.
Satu-satunya anak Temanggung di kelas itu adalah aku. Atau mungkin aku dan temanku yang "kegeeran". Ah, intinya temanku itu menggodaku. "Ciye ciye, pacarnya anak Temanggung.." godanya.
Saat itu, aku melihatmu sedang mengumpulkan KTP anak laki-laki, tidak tahu untuk apa. Lalu tiba-tiba kamu datang menghampiri aku dan temanku. "Aul, mana KTP-mu?" tanyamu.  Batinku, buat apa tanya KTP, bukannya yang dikumpul hanya anak laki-laki. "Nggak ada, buat apa?" aku balik bertanya. "Mau aku bawa ke KUA, buat daftarin kita, hehe," jawabmu bercanda. "Idiiih, gombal iyuuh!" batinku dalam hati. Aku hanua menjawab "Aiiih" dan kamu hanya tertawa kecil. Temanku langsung menjerit menggoda, "Aaaa, dibawa ke KUA, daftarin nikahan!" 

Apakah kamu ingat dengan hal itu? Pasti kamu tidak ingat. Dan aku, entah kenapa bisa mengingatnya padahal saat itu aku belum ada rasa apa-apa sama kamu. Masih ada hal-hal kecil bahkan sepele yang aku ingat tentangmu, di awal kuliah tentunya. 

Beberapa bulan berlalu, lalu ada kegiatan kampus bernama "Capacity Building". Dimana kita harus menginap selama empat hari di perkemahan, tidur di dalam tenda, berkutat dengan lumpur dan kegiatan fisik lainnya yang dipandu oleh para Kopassus. Karena kegiatan itu, aku merasa diperhatikan olehmu. Kita yang sering berkirim pesan singkat. Kamu yang selalu berpesan agar aku jaga kesehatan, agar aku tidak pingsan. Ya, kamu sudah tahu aku mempunyai fisik yang lemah. Dan sebelum kita berangkat, ternyata kamu mengirimkan sebuah sms yang isinya juga sama. Menyuruhku jaga kesehatan, jika tidak kuat jangan dipaksakan agar aku tidak pingsan. Tapi pesan itu aku buka saat kita sudah pulang dari perkemahan. Aku sedikit kecewa, aku terlalu cepat berangkat jadinya tidak membaca sms-mu dulu. Di kegiatan itu kita tidak boleh membawa handphone. 

Saat kita semua berkumpul di lapangan sebelum berangkat ke perkemahan, aku mencarimu tapi aku tidak menemukanmu. Padahal kita ini satu kelas. Berbaris juga satu kelas. Tapi aku tidak melihat sosokmu. Aku resah. Sampai akhirnya kita semua berpencar mencari kelompok masing-masing. Selama kegiatan di perkemahan pun aku tetap mencarimu, tapi tetap saja aku tidak menemukanmu. Hingga akhirnya kita kembali ke kampus. Aku buru-buru turun dari bis, aku sudah jijik dengan tubuhku, ingin segera mandi. Empat hari di perkemahan aku tidak mandi. Tapi saat berjalan di dekat air mancur, aku melihatmu, kita berpapasan, aku sangat senang. Kamu mengomentari diriku, "Buluk banget sih.." Hanya aku jawab dengan "hehe" dan aku segera bilang "duluan ya". Aku pulang menuju kos dengan jalan cepat sambil menahan rasa senang tentunya. 

Sejak saat itu mulai tumbuh rasa simpati. Kita makin sering berkomunikasi, via sms tentunya. Tapi di kelas kita saling diam. Kita hanya sebatas teman kelas yang jarang mengobrol, bahkan tidak pernah. Aku malah lebih dekat dengan teman lelaki yang lain. 

Akhir 2013, aku mendadak menjauh darimu, menjadi sangat cuek padamu. Aku mengetahui satu hal tentangmu. Tidak, aku tidak boleh menjadikan rasa simpati ini menjadi rasa yang lebih dalam. Kecewa? Iya. Bahkan aku sampai menangis. Di setiap aku sedang nyaman dengan seseorang, ada saja hal-hal yang membuatku berhenti sampai disitu. Tidak boleh melanjutkan rasa. Aku bersalah jika kuteruskan. Lebih baik aku diam, aku mengalah. Tidak usah berharap terlalu tinggi. Nanti jatuh, sakit.

Menjadi dingin, cuek, dan tidak peduli. Menanggapimu seadanya. Singkat-singkat saja. Maaf, itu juga untuk kebaikan kita. 

Tanggal 15 Februari 2014. Entah ada angin apa, sejak hari itu, semua berubah. Berawal saat kamu menanyakan tugas kuliah. Kita asik berkirim pesan sampai larut malam. Aku jadi tahu tentang dirimu yang sebenarnya, sedangkan aku masih menutupi semuanya. Aku takut jika memiliki perasaan yang "sama". Aku membantah hatiku sendiri. Aku selalu bilang tidak. Aku tidak boleh menumbuhkan perasaan ini, sangat tidak boleh. 

Kamu yang sejak hari itu sering mengirimiku sebuah tulisan yang membuatku kaget, takut, senang, ah sepertinya semua rasa bercampur jadi satu. Aku berpikir, jadi selama ini kamu memperhatikanku? Kamu tahu detail tentangku, tentang kebiasaan yang aku lakukan di kelas. Seperti memutar-mutar bolpoin dengan jariku atau membenarkan kerudungku yang kadang maju ke depan. Aku tidak menyangka. Sejak hari itu pula, kita selalu tahu kabar masing-masing dari pagi sampai malam, dari bangun tidur sampai mau memejam mata. Komunikasi kita tak pernah putus. Ya, aku nyaman dengan keadaan itu, aku senang, aku bahagia, aku jatuh cinta.

Kamu terlalu pintar membuatku jatuh cinta padamu. Aku sudah tidak secuek dan sedingin dulu.
Aku kaget ketika kamu tiba-tiba bilang sudah ada di depan kost-ku. Aku degdegan, aku bingung. Aku mondar-mandir di dalam kamar, mengatur nafas. Aku segera turun untuk menemuimu. Ternyata kamu memang benar ada disana, sedang asik menghabiskan susu kotak sambil menungguku. Ah sosok itu. Aku makin dag dig dug. 

"Lama banget.." katamu.
"Hehe." Aku bingung mau menjawab apa.
"Nih buat kamu." Hah? Kamu memberiku bahan untuk ujian besok. Kamu tahu aku belum punya bahan yang itu, kamu memfotokopikan dan memberikannya padaku tanpa aku meminta. Masih hangat pula bekas fotokopiannya. Oh, Tuhan, perhatian sekali dia.
"Ya ampun kamu baik banget." Aku sangat senang. "Bentar ya aku ambil duit dulu buat ganti."
"Eh gausah gausah. Udah itu buat kamu. Dipelajari ya.."
"Ini serius?"
"Iya.."
"Makasih banget ya. Makasih. Baik banget deh.." Aku sungguh sangat senang.
"Yaudah, aku pulang dulu ya. Dipelajari beneran lho itu."
"Iya iya.. Makasih ya. Iih jam baru ciyee.." Mataku tertuju pada jam ditangannya, jam yang baru-baru ini aku lihat, berbeda dari jamnnya yang sebelumnya.
"Hehe. Udah lama ini kok.. Duluan ya.."
"Iya hati-hati."

Kamu hanya tersenyum dan berbalik. Memasukkan tanganmu ke saku jaket hitammu dan berjalan pulang. Ah, senyum itu, yang memunculkan lesung di kedua pipimu. Manis sekali. 

Liburan semester satu. Tiada hari tanpa ada kabar darimu. Saling berkirim foto masa kecil, bercerita kegiatan di setiap harinya. Aku makin nyaman denganmu. Perasaan ini makin lama makin kuat. Jatuh cinta, aku sudah lama tidak merasakannya. Dan ketika aku merasakan kembali, aku merasakannya denganmu. 

Liburan usai, waktunya kembali ke perantauan, kembali kuliah. Aku tidak sabar bertemu denganmu. Hari senin pagi di ruang komputer, aku tidak melihatmu, rupanya aku datang lebih dulu daripada kamu. Aku menghidupkan komputer dan asik mengobrol dengan teman-teman. Tak lama, kamu datang. Kamu duduk sebaris denganku terpisah beberapa meja. Lalu kamu menghampiriku, menanyakan keadaan komputer di sebelahku. Kamu mengeceknya. Di posisi sedekat itu, jantungku berdetak sangat kencang. Saat mata bertemu mata, ada hal yang tanpa dibicarakan pun kita sudah tahu. Bahwa kita ingin saling memiliki dan melengkapi. Kita saling jatuh hati.

Kita terus berkomunikasi, chatting sampai larut malam, membicarakan hal-hal yang tidak penting. Dan membicarakan hati kita masing-masing. Kita sudah tahu perasaan kita tapi aku yang masih ragu. 

23 Maret 2014, pagi hari aku sudah mendapat chat panjang darimu yang berujung pada "Siapkah kita menjadi sepasang kekasih?". Selesai membaca, air mataku jatuh. Ya, aku menangis. Aku bingung, aku ragu. Aku harus maju atau mundur. Harus iya atau tidak. Aku memilih diam. Tak mengindahkan pertanyaanmu. Membiarkan semua jadi gantung. Membiarkan kita tetap pada kondisi seperti kemarin dan kemarin. Di masa ini pula aku pernah berbohong padamu, maafkan aku. 

Akhirnya, bulan April 2014 hari kelima, Sabtu waktu Maghrib. Ketidakjelasan kita berakhir. Aku yang sedang asyik menikmati segelas jus mangga di kamar setelah lelah berbelanja, mendadak kaget dengan pesan yang kamu kirim. Kamu bilang kamu sudah di depan kos ku. Sebelumnya saat aku masih berbelanja, kamu sering tanya aku sudah selesai belanja atau belum, sudah sampai kost atau belum. Ternyata kamu mau datang, tapi untuk apa, menjelang maghrib begini pula. Aku segera menemuimu, aku masih berpakaian seperti saat aku belanja tadi, belum sempat beres-beres apalagi ganti baju. 

Kamu tersenyum, lalu berkomentar tentang pakaianku. "Rapi banget.."
"Hehe, iya.. Kan aku barusan keluar, belanja, jadi ya kayak gini." Jelasku padamu.
"Aku mau nyelesein pembicaraan kita yang belum selesai."
Apa maksudnya kamu berbicara seperti ini, aku takut, jantungku bergemuruh, aku tak tenang. Aku menundukkan kepala. Aku hanya menjawab, "Ya.."
Adzan maghrib berkumandang, kita diam berdiri di samping pintu pagar. Aku masih menundukkan kepala, sesekali melihatmu yang terlihat gelisah, tapi matamu tegas.
Mendengar suara adzan aku jadi lebih tenang.
Lalu kamu lanjutkan lagi pembicaraanmu dengan suara tenang, yang justru membuatku takut untuk menatapmu, lagi-lagi aku hanya menundukkan kepala.

Dan pada akhirnya aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Rasanya susah untuk bicara. Aku bahagia, ya bahagia karena bisa memulai janji untuk selamanya denganmu. Tak perlu penjelasan lagi bahwa kita sudah jelas malam itu. Entah apa hal-hal yang akan kita hadapi bersama, yang kulihat hanya hal-hal baik saat itu. 

Kita sudah ciptakan banyak cerita. Sembunyi-sembunyi dari temen sekelas, aku yang takut tidak nyaman saat di "cie" kan oleh teman-teman. Dan segala alasan yang aku tak ingin banyak orang tahu tentang kita. Berbeda denganmu yang sudah lebih dewasa dari aku, untuk apa kabar bahagia ditutupi. Ah, tapi aku juga malu saat itu.

Aku jadi teringat saat kita "taruhan" saat nonton pertandingan sepakbola di televisi. Tim yang aku dukung menang, begitu sebaliknya. Itu tandanya kamu harus membelikanku es krim. Ya, kamu menepatinya. Menjelang maghrib sepulang aku mengerjakan tugas di kos teman, kamu mengantarku pulang. Saat aku hendak masuk ke dalam kos, kamu mengeluarkan sesuatu dari tas mu. Es krim. Ya, lengkap dengan dua sendok kecil. Ternyata itu alasanmu membawa tas, untuk menyimpan es krimnya sebelum kamu beri kepadaku. Awalnya aku menolak, aku tidak mau menerima barang hasil taruhan karena haram. Aku tidak serius soal taruhan itu, hanya bercanda. Tapi kamu bilang bahwa kamu memang berniat membelikannya untukku, bukan sebagai hukuman kalah taruhan. Seharusnya kita bisa menikmati es krim itu berdua, tapi sudah maghrib ternyata, aku segera masuk dan kamu pun pulang.

Semua cerita tentang kita, satu pun, aku tidak bisa melupakannya. Terlebih saat kamu begitu mendukungku saat aku berada di titik terjatuhku. Tanpamu aku tidak bisa bangkit lagi seperti sekarang. Pertolonganmu, pengorbananmu, dan semua tentangmu begitu berarti dan berharga.

Tapi jika sudah terucap perpisahan, semuanya harus berhenti. Aku masih ragu. Tapi aku sudah tidak tahan.
Kini pun aku harus selalu menghadapi diammu. Aku hanya menginginkan kejelasan seperti saat dulu kamu menginginkannya dariku. 

Perubahan pasti ada, perpisahan pasti terjadi.
Sejujurnya, sungguh aku tidak ingin. Sangat tidak mau.
Aku hanya perempuan yang mencintai laki-laki yang terus saja diam. Aku ingin kita selalu baik, sebagai apapun itu.
Sekali lagi, aku masih mencintaimu. Sama seperti dulu. Bahkan sekarang sudah lebih dari yang dulu.
Yogyakarta, 15 Agustus 2015 | 12:29
Aulia RA

Izinkan Aku, Cinta

Posted by Aulia RA , Sunday, 26 July 2015 22:39

Laki-lakiku yang tercinta,
Kamu adalah kado spesial dari Tuhan
Kejutan tak terduga dariNya
Maka, izinkan aku menjadi hari ulang tahunmu
Dimana kamu selalu mengingatku
Kamu selalu membisikkan doa terbaik
Dan aku akan menjadi suatu permulaan baru yang takkan pernah berakhir
Yang akan selalu memberikanmu kado dan kejutan manis

Laki-lakiku yang tercinta,
Bahagiamu adalah bahagiaku
Senyummu adalah bahagiaku
Air matamu adalah lukaku
Maka, izinkan aku menjadi ibu peri bagimu
Agar aku bisa mengabulkan keinginanmu,
Menghapus semua laramu,
Menghiburmu,
Membuat kamu tersenyum selalu
Sehingga kita hanya merasakan satu hal,
Bahagia

Laki-lakiku yang tercinta,
Baktimu pada yang melahirkanmu sangatlah besar
Hormatmu pada yang menafkahimu sangatlah besar pula
Dan sayangmu pada yang sedarah tak akan pernah putus
Maka, izinkan aku mendampingimu
Bukan merebutmu dari keluargamu

Laki-lakiku yang tercinta,
Mimpimu belum terwujud
Perjuanganmu belum berakhir
Pun kehidupan masih berjalan
Maka, izinkan aku menjadi anak tangga bagimu
Yang membawamu menuju puncak kesuksesanmu
Membawamu ke depan pintunya
Dan menjadi kunci untuk membuka pintunya
Lalu, tinggal kamu nikmati hasil kerja kerasmu

Laki-lakiku yang tercinta,
Aku tahu kamu sangat lelah
Hari-harimu kadang membuatmu penat
Kesibukanmu, pekerjaanmu
Maka, izinkan aku menjadi rumah bagimu
Menjadi tempatmu pulang
Menghilangkan segala penat dan lelahmu
Melupakan sejenak tentang kesibukan dan pekerjaanmu
Aku menjadi satu-satunya tangan tempatmu menyisipkan jari
Satu-satunya kening untuk kecupmu
Lalu, kamu benar-benar istirahat di rumah itu
Kamu mendapat kehangatan di rumah itu
Tapi jangan lupa, kamu adalah pelindung utama rumah itu

Laki-lakiku yang tercinta,
Izinkan aku menjadi surga bagimu



Parakan, 26 Juli 2015
- Aulia RA

Note: Tulisan dari tumblr saya (ririsaulia.tumblr.com)

Maafkan Aku, Teman

Posted by Aulia RA , Sunday, 24 May 2015 09:23

Aku berbeda. Aku sekarang menjadi pribadi yang berbeda. Efek dari menganggur barangkali. Ah, intinya aku sudah berbeda.

Aku yang labil, tidak jelas, gamang, tak bisa mengambil keputusan yang jelas, dan aku yang merepotkan banyak orang.

Teman, setiap hari yang kulihat cuma dinding di ruangan 3x3 meter ini. Dan isinya yang berantakan. Buku-buku yang berserakan dimana-mana. Aku seperti hidup di dalam kandang, hanya sesekali keluar dari kandangku. Namun, tempat ini yang menjadi saksi perjuangan dan kesedihanku. Bagaimana tidak, aku setiap hari menangis disini. Bantal basah karena air mata, mata sembab karena air mata, sampai-sampai mataku perih karena keseringan menangis. 

Aku bosan disini. Sangat sangat bosan. Jenuh yang menumpuk membuatku emosi. Tapi aku hanya bisa menahan emosi itu. Setiap hari melakukan rutinitas yang membosankan, disuruh ini-itu, dan kadang dimarahi. Aku pernah berpikir, bagaimana jika aku minta sakit keras sama Tuhan biar aku diperlakukan baik. 

Aku tidak punya teman. Teman-temanku di perantauan masing-masing dengan kesibukan dan kehidupan masing-masing pula. Aku merasa sendirian. Aku menjaga jarak dengan orang yang baru aku kenal. Aku menutup diri. Aku takut ditanyai macam-macam. Teman-temanku hidup di telepon seluler ini. Aku hanya bisa menjumpai mereka lewat teks pesan singkat atau e-mail. Aku sangat butuh mereka. Aku ingin mereka bisa disampingku, menemaniku di masa sulitku. Tapi mereka sudah mempunyai kehidupan sendiri. Aku ingin menceritakan macam-macam: apa yang sedang aku rasakan, apa yang aku pikirkan, apa yang mengganggu pikiranku, kekecewaanku, kegelisahanku, dan masih banyak lagi. Mungkin aku salah menyampaikan, caraku yang salah. Dan untuk temanku yang sudah terlalu sering menerima curhat-curhatku, aku minta maaf, mungkin kamu sangat bosan dan sudah enggan untuk menanggapi. Semua kembali ke akar paragraf ini, aku ingin menceritakan dan ingin didengar. Aku tidak bisa memendam masalahku sendiri, aku butuh orang lain untuk berbagi, agar aku mendapat saran-saran yang baik dari kamu, Temanku. Maaf jika selama ini aku menganggumu. Aku butuh teman dan ingin diperhatikan. Aku kesepian.

Saat melihat fotomu bersama teman lain, aku cemburu. Aku takut dilupakan. Karena aku tidak mudah mendapatkan seorang teman. 

Aku jijik saat melihat wajahku di cermin. Wajah yang sudah lebih tua dari umur aslinya. Kantung mata yang makin menghitam, kulit yang makin kering dan keriput. Tidak ada senyum, tidak ada wajah ceriaku. Aku ingin seperti dulu, selalu ceria bersama teman-temanku, walau sedih aku tetap bisa tersenyum, bahkan tertawa lebar. Aku jadi ingat temanku pernah bilang, "Hatimu terbuat dari apa sih, Ris? Nggak pernah marah walau diledek habis-habisan." Ya,itu beberapa tahun lalu. Saat aku masih selalu ceria, selalu tertawa dan tersenyum, tidak ada muka kusut begini. Aku sudah sangat cuek dengan diriku, aku sudah enggan mengurus diri. Berantakan setiap hari.

Kalian tidak sepenuhnya mengetahui tentang diriku. Apa yang sudah kulalui, kuhadapi, dan kuterima. Segala kenyataan pahit yang membuatku makin kuat. Aku pernah marah dengan Tuhan, mengapa aku yang dipilih untuk menghadapi semua ini? Dari berjuta orang di dunia, dari sekian banyak perempuan, mengapa harus aku? Namun, pada akhirnya aku menyadari satu hal. Dengan diberinya cobaan ini, Tuhan sangat sayang denganku, Tuhan ingin aku ingat denganNya, bahwa aku masih punya dan selalu punya Dia.

Apakah kalian pernah merasakan hal yang sama denganku?
Bagaimana sulitnya membuat keputusan?
Apakah lebih baik bertahan atau tidak?
Bagaimana aku bisa bertahan dan menjalankan satu paham?
Bagaimana menentukan langkah yang benar yang harus aku ambil?
Bimbang di banyak hal?
Merelakan sesuatu yang sangat diperjuangkan dulu?
Menghadapi kemungkinan buruk?

Sekali lagi, aku hanya butuh kalian, Temanku. Aku butuh nasehat-nasehatmu. Maaf jika caraku menyampaikan salah.

Ada satu yang ingin aku tanyakan kepada kalian. Jika kalian berada di posisiku, apakah kalian bisa sekuat aku?



Parakan, 24 Mei 2015; 10:11
Aulia RA

Kepada Orang yang Baru Patah Hati

Posted by Aulia RA , Saturday, 16 May 2015 13:09



Kepada orang yang baru patah hati
Persilahkan dirimu bersedih
Orang-orang punya pandangan yang aneh tentang bersedih
Seakan-akan bersedih adalah hal yang tabu
Seakan kamu harus buru-buru tertawa setelah hal buruk menimpa
Tapi tidak
Seperti hujan di tepi senja, kamu harus membiarkan setiap sendu yang ada
Setiap kematian butuh peratapan
Begitupun cinta yang telah mati
Maka lakukanlah apa yang orang patah hati lakukan
Menangis hingga kamu tidak bisa mendengar suaramu sendiri
Makan coklat sebanyak-banyaknya
Mandi air panas hingga jarimu pucat
Pergi ke cafe dengan tatapan nanar
Pesan satu buah es teh manis
Karena kopi mungkin terlalu pait untuk diminum di saat seperti ini
Izinkan lah dirimu bersedih
Menangislah seakan ini terakhir kalinya kamu dikecewakan seseorang
Menangislah seakan kamu lupa cara nya berharap
Kepada orang yang baru patah hati
Setelah kamu bosan bersedih
Inilah saatnya kamu mengangkat dirimu kembali
Mulai dengan hal yang mudah
Kamu bisa mulai mencoba mengambil gitar
Dan mengambil nada-nada mayor yang bahagia
Ambil piano dan bermain soneta yang indah
Atau jika kamu tidak bisa bermain musik
Lihatlah dirimu di depan cermin dan bersenandunglah
Lalu diantara nada-nada itu bisikkan kepada dirimu sendiri
“AKU PANTAS UNTUK BAHAGIA”
Kepada orang yang baru patah hati
Selalu ada teman untuk menemani kamu
Pergilah bertemu temanmu
Tertawalah sampai lupa waktu
Tanyakan kabar teman yang lain
Pamerlah keberhasilan mu
Dibidang-bidang yang kamu suka
Dan jika memungkinkan nongkronglah sampai kamu diusir dari tempat itu
Emang sih kenangan terhadap dirinya kadang masih sering mengganggu
Tempat yang pernah kalian datangi tidak akan terasa sama
Teman yang belum tahu mungkin akan menghampirimu dan bertanya
“Si dia mana ya?”
Yang kamu akan balas dengan senyum tipis
Entah bagaimana menjawabnya
Tapi percayalah satu hal
“SEMUA INI AKAN BERLALU"
Sama seperti hal lain di dunia
Semua hal buruk pasti akan beranjak pergi
Hujan pasti akan terganti langit biru
Gelap pasti terganti terang
Dan luka pasti terganti dengan senyuman tipis di bibirmu
Kepada orang yang baru patah hati
Bersabarlah
Karena di setiap gelap ada cahaya kecil
Karena di setiap sakit ada pembelajaran
Karena kamu
“PANTAS UNTUK BAHAGIA KEMBALI”


-Raditya Dika

Terimakasih

Posted by Aulia RA , 08:27

"Selamat tidur, ya. Jangan lupa berdoa. Besok kalau udah bangun langsung kabarin aku supaya aku telepon."

Kalau ditanya siapa yang paling rindu membaca kalimat di atas, aku berani bersumpah demi apapun bahwa aku sangat ingin kita seperti dulu lagi, sehangat dulu lagi, dan seindah dulu lagi. Tapi, keadaan telah berubah, aku harus membiasakan diri untuk terlelap tanpa membaca chat-mu. Aku harus tidur tanpa berharap besok kamu akan menelepon dan menghubungiku.

Berat. Tapi harus aku jalani. Hidup berjalan ke depan bukan? Dan, aku ingin keluar sebagai pemenang, bukan pecundang.

Terima kasih untuk segala kenangan. Terima kasih untuk banyak pelajaran. Perlahan aku akan segera melupakanmu dan mencari penggantimu.

DD, 16/05/15

Pulanglah

Posted by Aulia RA , Saturday, 2 May 2015 00:03

Aku merindukannya. Ya, aku sangat merindukan lelaki itu. Seorang lelaki yang telah membuat aku mempertaruhkan masa depanku padanya. Karena aku percaya dengan dia. Masa depanku adalah masa depannya. Perjuanganku adalah perjuangannya. Seperti yang dia katakan dulu kepadaku.

Aku memang salah, aku telah melanggar janjiku sendiri untuk tak menjalin hubungan dengan seseorang. Apakah aku bodoh? Ah, aku rasa tidak. Aku hanya tak ingin menyia-nyiakan kehadirannya. Lelaki hebat seperti dia, lelaki pemberani, sifat yang aku temukan pada sosoknya. Lelaki yang pantas untuk menjadi masa depan, lelaki yang cukup dewasa, kebapakan, dan terkadang manja laiknya anak-anak.

Aku tak memiliki kriteria khusus untuk seorang lelaki, jika cinta ya sudah tidak memandang apapun, kan? Hanya menerimanya apa adanya. Dialah lelaki yang aku impikan, aku ingin dia mengajakku menua bersamanya, sampai hembus nafas terakhir, hingga raga tak lagi mampu berbuat banyak. Lelaki yang ingin aku jadikan sosok ayah untuk anak-anakku. Lelaki yang ingin kujadikan pemimpin untuk keluarga kecilku.
Aku sadar, dirinya bukan sepenuhnya milikku. Bahkan, dia belum sah jadi milikku. Dia masih seratus persen milik keluarganya, aku bukanlah prioritas pertama di hidupnya. Bukan aku saja yang merindukannya, orang-orang terdekatnya pasti sangat merindukannya. Canda tawanya, perhatiannya, leluconnya, pun marahnya aku sangat rindu.

Saat ini aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku ingin memeluknya erat dan memastikan keadaannya. Walau aku tahu dia baik-baik saja, aku ingin bertemu dengannya.
Aku harap setiap pagi datang dia kembali pulang. Pulanglah sayang, aku ingin kau kembali pulang, aku tak ingin semua mimpiku hanya menjadi pemanis dalam tidurku.[]

Parakan, 1 Mei 2015 | 23:58
Aulia RA

Kotak Sepatu

Posted by Aulia RA , Wednesday, 29 April 2015 03:16

Aku masih ingat betul dengan hari itu, dengan kejadian itu. Aku memang seorang pelupa, tapi untuk hal itu, Tuhan mengijinkan otakku merekamnya dengan baik dan menyimpannya dalam kemasan memori paling manis. 

Aku kira tak akan ada masa-masa seperti sekarang jika tak ada masa yang dulu. Kita melewati masa demi masa, waktu demi waktu, demi suatu tujuan yang entah apa. Tuhan masih merahasiakan. Pun malaikat malu untuk memberitahukan pada kita. Ah, dia hanya berpura-pura malu saja, padahal memang enggan untuk mengatakan. 

Segala kebetulan yang kutemui dalam perjalanan hidup ini, aku rasa itu bukan 'kebetulan'. Menurutku tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, kebetulan yang hanya kebetulan. Sejatinya kebetulan-kebetulan itu bernama takdir. Bukankah Tuhan sudah menggariskan hidup seseorang sebelum ia lahir di dunia? Takdir itu ada yang sudah mutlak tak bisa diapa-apakan lagi, tinggal menjalaninya saja. Dan ada pula takdir yang masih bisa kita perbaiki, kita rubah, selama kita mau berubah. Aku jadi ingat perkataan Tuhan, "Aku tidak akan mengubah keadaan suatu kaumku, jika mereka tak mengubah keadaan kaumnya sendiri", yah intinya begitu. Asal manusia mau berusaha, Tuhan akan mengabulkan. 

Aku pernah putus asa dengan takdir. Aku membenci takdirku. Aku mengutukinya. Bahkan aku pernah benci dengan Tuhan. Oh, Tuhan, maafkan aku. Aku hanya tak bisa terlalu sulit. Aku merasa segala perjuangan dan pengorbananku tidak menghasilkan apa-apa. Nol besar. Hingga akhirnya aku sadar bahwa Kau menginginkanku untuk lebih sabar. Jika batas kemampuan orang lain dalam menghadapi ujian adalah 10, maka Kau berikan ujian padanya sampai skala 7. Sementara batas kemampuanku adalah 100, maka Kau memberiku ujian sampai skala 99. Kemampuanku diatas orang lain, kesabaranku lebih dari orang lain, Kau memberiku lebih dari orang lain. Tapi Tuhan, ijinkan aku mengeluh kepadaMu. Aku capek, aku lelah, aku jenuh.

Lagi-lagi aku menyadari bahwa yang kupikirkan bukan hanya diriku yang sedang lelah ini. Ada orang yang harus selalu aku perhatikan, aku pandangi, aku rawat, aku awasi, aku ajari, aku bahagiakan, aku sayangi, dan semua itu aku lakukan dari jauh. Orang itu salah satu tokoh dari kepingan puzzle masa laluku. Tokoh yang membuat aku selalu ada dan karena dialah aku mampu berdiri sebagai pemeran utama. Aku ingin tokoh itu selalu menjadi bagian dari setiap keping puzzle yang aku rangkai. Biar aku tetap jadi tokoh utama yang mengatur kemana jari ini akan meletakkan keping demi kepingnya.

Namun ketika semua tampak rumit dan gantung, aku tak tahu harus bagaimana selain diam. Oh Tuhan, aku bingung. Banyak yang aku inginkan, banyak hal yang kupinta darinya. Ini yang selalu menjadi konflik. Saat yang kuinginkan berbanding terbalik dengan yang dia beri. Aku tak ingin menyalahkan siapapun. Wajar jika aku berkeinginan dan wajar pula dia yang tak mampu turuti inginku. Tetapi aku ingin seperti yang lain, Tuhan. Apakah aku salah? Aku rasa ini sederhana. Aku ingin membuatnya berbanding lurus. 

"Ini mau diletakkan dimana?"
"Biar disini saja." Jawabmu. 

Rasa-rasanya, semua ingin aku simpan rapat-rapat dalam kotak itu. Biarlah tak nampak lagi karena tertutup debu dan kelihatan mengenaskan di pojok ruang sana. Ah, perasaan ini, makin hari makin jadi, makin rumit dan tak karuan. Bosan dan jenuh yang makin liar, gerakannya tak dapat aku kekang. Tapi ia tak bisa lari, karena tidak ada yang membawanya pergi. 

Kamu dari masa laluku, sekarang, dan nanti, asal kamu tahu, aku (masih) menunggumu. 



Parakan, 29 April 2015 | 03:47
Aulia RA

Selamat Hari Buku

Posted by Aulia RA , Friday, 24 April 2015 01:28

Selamat hari buku, kamulah bukuku, yang tiap halamannya menciptakan rasa tertarik, penasaran, debar yang tak pernah berhenti.

Kamu adalah buku yang berbeda, aku selalu berharap, saat aku membuka halaman demi halamannya, aku tak akan berhenti untuk tetap membaliknya satu per satu.

Pun tak akan kubiarkan, debu dan noda lain hinggap mengotori, karena apa yang dipunya haruslah dijaga, sepenuh hati :)

Bintaro, 23 April 2014 | 17:37

RKBP

Kepada Kamu dari Hati yang Selalu Menunggumu

Posted by Aulia RA , Wednesday, 15 April 2015 20:32

Kepada kamu...

Ada yang bilang,
"Mencoba mendidik cinta dengan jarak dan mengajar sayang dengan waktu, agar ia berujung pada keikhlasan.
Belajar memiliki dengan berserah, berdekatan melalui jauh, dan berharap semuanya semakin jernih.
Mari salahkan jarak yang mengundang rindu, yang salah bila dipendam, dan bertambah bila dipandu.
Kita memang yang lemah ketika berhadapan dengan rasa, namun itulah indah dan pertanda kita masih manusia.
Tak banyak waktu bisa kuberi, namun satu hal yang bisa aku janji, apa yang ada padaku pasti aku bagi.
Wajar ada jumpa ada pisah, bukan dunia yang masalah, tapi surga yang jadi arah.
Semoga setelah ujian ini kita semakin bernilai dan terhadap kewajiban-kewajiban kita tak lalai.
Jangan tanyakan apakah ini perjumpaan terakhir kali, yang kita tahu pasti hanya padaNya semua akan kembali."


Disudut ruangan ini aku menangis tiap malam. Ketika aku mengingatmu, ketika rindu yang semakin lama semakin menyiksaku. Ketika aku terus menunggumu. Yang semakin larut semakin menyesakkan. Dan aku hanya bisa berharap dan berharap, aku masih memiliki sedikit waktu untuk merasakan dirimu, dirimu yang nyata. Bukan dirimu di dalam mimpiku dan di dalam bayanganku saja. Aku tak mau. Aku ingin lebih dari itu. Wujud yang tiga dimensi, bukan dua dimensi. Wujud yang sama seperti diriku. Manusia. Manusiamu.

Maaf, aku manusia, aku punya keinginan. Aku boleh kan menginginkanmu?

Lalu kepekatan rindu itu mengantarkanku pada keadaan bernama jenuh. Aku jenuh, benar-benar jenuh. Aku tidak sabar menghadapi ini. Maafkan aku.

Sabar, percaya, ikhlas, adalah hal yang sangat sulit buatku. Sekolah pun tak cukup mengajari ini. Kehidupan lah yang mampu. 

Melewati berbagai ujian di hidup, sepertinya sudah aku lakukan beberapa. Dan sekarang adalah proses dari ujian yang lain. Kamu mau membantuku melewati ini, kan? Aku tidak bisa melakukannya sendirian, aku butuh kamu. 

Belajar, belajar, dan belajar. Itu yang selalu aku lakukan sampai saat ini. Pun ketika aku jatuh, aku bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi, lagi-lagi aku jatuh, lagi-lagi aku bangkit, begitu seterusnya. Karena hidup memang begitu.

Aku berjanji padamu, aku akan membagi semuanya kepadamu. Tak usah khawatir. Sekarang aku masih mencicil sedikit demi sedikit apa yang hendak kubagikan. Akan tiba waktunya nanti saat semua aku bisa berikan kepada kamu. Yang sabar, ya?

Diatas langit masih ada langit, apalagi yang namanya manusia akan selalu memandang yang ada diatasnya. Banyak yang lupa untuk memandang ke bawah, terlebih untuk bersyukur. Bersyukurlah dengan apa yang sudah kamu miliki sekarang. Nafsu tak ada habisnya, hati yang bisa membatasi. 

Hanya rasa syukur yang menghentikan pencarian dan cukup dengan mengembangkan apa yang sudah dimiliki. Sekali lagi, tak banyak hal yang kupinta, cukuplah berhenti disini dan tetaplah menyisipkan tangan di jariku untuk kembali. Jadikan aku surga yang selalu kamu rindukan.

Aku mencintaimu. Selalu.
Kepada kamu dari hati yang selalu menunggumu, mengharapkanmu, dan mencintaimu.[]

Parakan, 15 April 2015 | 20:28
Aulia RA

8760 Jam

Posted by Aulia RA , Sunday, 5 April 2015 22:40

Aku membayangkanmu sudah menungguku diluar, menjemputku. Lalu kamu memanggil namaku dengan suara khasmu. Suara yang telingaku sudah berteman akrab namun begitu kurindukan. Satu hal yang aku lakukan saat itu,tersenyum lebar kepadamu, ingin memelukmu tapi aku malu. Tatapan yang menusuk, jemari tangan yang menghangatkan. Seketika sirna penat seharian.

Aku membayangkanmu sudah berada disamping ranjangku, membangunkanku. Aku tak mau bangun, berat rasanya untuk membuka mata. Selimut masih melekat, bantal guling pun menggoda untuk dipeluk. Namun, belaian tanganmu di rambutku dan kecupmu di keningku laiknya sihir yang langsung membuatku terjaga. Dirimu, mentari pagiku, tersenyum manis seraya berkata "selamat pagi".

Aku membayangkanmu membawakanku sekotak coklat. Kamu menantangku berlomba. Siapa yang memakan potongan terakhir, dia yang akan menang. Aku masih mengunyah potongan coklat, sementara tanganmu telah siap mengambil sepotong yang terakhir. Aku pasrah sambil menelan kunyahan coklat. Potongan terakhir sudah ditanganmu, tetapi kamu suapkan kepadaku. "Yeey, kamu menang!", serumu. Aku cemberut namun segera berubah menjadi tawa kecil.

Aku bahagia melihat mereka sering bersama. Memasang foto bersama, bertualang bersama, dan hidup bersama. Itu bukan picisan tapi sebentuk kebahagiaan. Mungkin tak ada yang bisa membuat begitu bahagia selain kebersamaan. Tak ternilai, saking mahalnya.
Jam terus berganti. Dapat kudengar suara detiknya. Hingga 8760 jam, hal yang kubayangkan adalah semu. Tak ada sambutan, tak ada ucapan, tak ada perkataan. Tetes air mata mengiringi pergantian tiap detiknya.


Kepada kamu dari hati yang masih bertahan.





Parakan, 5 April 2015 | 23:23


Aulia RA

Firasat

Posted by Aulia RA , Saturday, 21 March 2015 02:11

Aku tidak sabar menunggu datangnya hari ini, hari yang kamu janjikan. Hari yang menjadi pertemuan aku dan kamu setelah lama tak bertemu, menahan rindu. Pertemuan nanti adalah ritual melepas kangen, merasakan kembali aroma tubuhmu, hangat pelukmu, dan mesra kecupmu.

Kukayuh sepeda tua kesayanganku menuju tempat pertemuan kita. Sebuah tempat dimana disitu ada danau yang tidak begitu besar, di sekelilingnya ada berbagai macam pepohonan, bunga ester dan bunga lili. Aku ingin impian kita terwujud, untuk bisa membeli tempat ini, lalu kita bangun rumah kita. Aku juga ingin membangun rumah pohon di salah satu pohon-pohonnya. Anak-anak kita pasti senang sekali, berlarian di tanahnya yang coklat, memancing ikan dan bermain-main di danaunya. Udaranya segar, sejuk, anginnya berhembus lembut. Aku ingin segera tiba saat itu, kita yang selalu mesra, anak-anak yang selalu bahagia, disana, rumah kita. Masa depan kita.

Aku tidak bisa membayangkan apa saja yang berubah dari kamu. Atau masih sama saja seperti dulu? Kulit coklatmu, kumis tipismu, mata tajammu, alis tebalmu, dan ah, semuanya yang tak akan aku sebutkan. Serta segala yang ada pada dirimu, yang mungkin telah berubah. Kamu tahu? Jerawat bandel di pipi kiriku sudah hilang, dan rambutku sudah bertambah panjang. Aku suka dengan rambutku yang hampir sepinggang ini, tapi ujungnya  aku potong sedikit, biar kelihatan rapi waktu ketemu kamu.

Di keranjang di belakang sepedaku, aku membawakanmu sesuatu yang kamu pasti sangat suka. Kubawakan makanan favoritmu, nasi goreng, kamu pasti belum sarapan. Sekarang nasi goreng buatanku sudah enak, tidak seperti dulu lagi, semoga kamu suka. Nanti kita makan bersama disana. Teh manis hangat juga akan membuat dirimu lebih baik kan di pagi ini? Aku juga membawa cemilan untuk menemani kita mengobrol nanti. Sudah seperti mau piknik saja ya aku ini, hehe. Oh iya, selain itu aku juga membawakan hadiah buat kamu. Buku favoritku, yang aku ingin sekali kamu membacanya, semoga kamu ada waktu luang untuk membaca buku ini ya. Dan sebuah hadiah satu lagi yang kamu akan tahu isinya saat kamu membuka bungkusannya, dan semoga kamu terkesan.

Hari ini, Sabtu pukul delapan pagi. Sungguh, aku sangat tidak sabar. Kukayuh sepedaku lebih kencang.

***

Akhirnya, aku sampai juga di tempat favorit kita, tempat pertemuan kita.

Namun aku belum menemukan sosokmu disana, diseberang danau hanya ada ayah dan anak sedang memancing. Kulirik arlojiku, masih menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Ah, kamu selalu begitu, datang tepat waktu, jika tidak ya terlambat. Oke, kali ini aku menang dari kamu, aku datang lebih dulu.

Rasanya aku sudah lama sekali tidak merasakan keindahan tempat ini. Tempat yang selalu memberikan inspirasi untuk menulis atau menggambar. Untung saja buku sketsa ini selalu aku bawa, jadi sembari menunggumu aku akan membuat gambar ilustrasi ayah dan anak yang memancing disana.

Menggambar selalu membuatku lupa waktu, dan ternyata saat ini sudah pukul sembilan. Benar-benar tak terasa. Dan kamu belum juga datang, aku khawatir. Tidak mungkin kamu lupa dengan janjimu sendiri. Janji yang kamu tulis dan kamu kirimkan kepadaku 5 bulan lalu. Dan tidak mungkin kamu tega membatalkan janji  ini tanpa memberitahuku sebelumnya. Aku bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu kuputuskan untuk tetap menunggumu. Mungkin kamu ada sesuatu yang membuatmu terlambat datang, atau halangan yang lainnya. Tak dapat kusangkal aku sangat khawatir. Apa kamu mengerjaiku saja? Cuma mempermainkanku? Aku coba tetap berpikiran jernih.

Aku berjalan-jalan mengelilingi danau, memetik beberapa bunga. Nasi goreng dan tehnya sudah tidak hangat lagi. Ayah dan anak tadi sudah beranjak meninggalkan dermaga di pinggiran danau. Aku duduk disana, melamun. Membayangkanmu sudah berdiri dibelakangku lalu memanggilku. Dan ketika aku tahu kamu sudah disini, aku akan langsung memeluk erat dirimu. Namun itu hanya khayalanku saja. Tak pernah terjadi. Air mataku menetes.

Matahari sudah berada diatas kepala, menyengat tubuhku. Aku masih saja terduduk disini, tak peduli sengatan matahari, aku akan tetap menunggumu disini. Biarlah air mataku menetes dan bercampur dengan air danau, biarlah, aku tidak peduli, akan tetap menunggumu disini. Biarlah aku sendiri disini, mati disini, aku tak peduli, aku akan selalu dan tetap menunggumu disini. Sampai kamu datang. Itu bukti kesetiaanku, jika kamu menanyakan.

***

Kemarin, kulihat awan membentuk wajahmu
Desau angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku

Semalam bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu
Aku pun sadari, ku segera berlari

Ketika menghangatkan tubuh dan aku menengok ke atas, kulihat awan membentuk wajahmu. Sang bayu membisikkan namamu.  Pun ketika malam,bulan sabit yang kulihat bahkan melengkungkan senyummu. Gemintang, konstelasinya, menjadi kamu. Semua yang kulihat, seolah-olah adalah dirimu. Aku ingin memandang bulan bersamamu, sesuatu yang sudah lama tak aku dapatkan. Aku ingin menggapai awan dan bulan itu, menggapaimu.  Ah, tetapi itu tak nyata,itu hanya khayalan.


Alirnya bagai sungai yang mendamba samudera
Kutahu pasti kemana kan ku bermuara
Semoga ada waktu sayangku

Kupercaya alam pun berbahasa
Ada makna di balik semua pertanda
Firasat ini rasa rindukah ataukah tanda bahaya
Aku tak peduli, kuterus berlari

Apa itu firasat? Firasat adalah cara alam berbicara kepada kita. Tapi saat itu kita tidak dapat memahami padahal kita semua bisa berdialog dengan semesta. Karena dari mulai berbicara, kita hanya mengenal bahasa manusia bukan bahasa alam. Kadang aku tak tahu, mana yang firasat mana yang bukan. Mana yang firasat mana yang pertanda. Yang kutahu, aku hanya rindu kamu. Semoga selalu ada waktu. Waktu untuk bertemu kamu.


Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali, jangan pergi lagi

Dan lihatlah sayang
Hujan terus membasahi seolah luber air mata

Cepat pulang, cepat kembali,  jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali, jangan pergi lagi
Ku hanya ingin kau kembali
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali, jangan pergi lagi

Aku pun sadari
Kau takkan kembali lagi

Cintaku, aku ingin kamu cepat pulang. Aku sangat rindu, rindu kamu. Cepatlah, aku tak sabar. Aku tak bisa sabar jika semua itu tentangmu. Jangan pergi lagi, jangan tinggalkan aku. Biarkan aku disampingmu. Biarkan aku bersamamu. Mendampingimu dan hidupmu. Biarkan aku.
Hanya air mata yang berderai, mengalirkan pertanyaan, “Akankah kamu kembali?”

***

Siang, panas. Malam, gelap. Hujan, dingin. Aku tak peduli. Aku akan disini sampai kamu datang. Aku akan pergi meninggalkan tempat ini bersamamu. Bersamamu.
Biarlah aku sendiri disini, mati disini, aku tak peduli, aku akan selalu dan tetap menunggumu disini. Sampai kamu datang. Itu bukti kesetiaanku, jika kamu menanyakan.

***

Itu hanya firasat. []







Parakan, 21 Maret 2015


Aulia RA

Pergi Saja (2)

Posted by Aulia RA , Tuesday, 17 March 2015 10:24

Ternyata sudah selama ini aku membohonginya. Menyembunyikan apa yang dihati dan juga tak kunjung mengutarakan isi hati. Semoga aku kuat menyimpan di hati yang mungkin sampai mati. Aku hanya tidak ingin menyakiti.

Tetapi ketika aku berpikiran demikian selalu ada bisikan-bisikan yang mengatakan bahwa aku harus bergerak. Berusahalah, berjuanglah, dan bergeraklah untuk mendapatkannya, jika tidak kau akan menyesalinya seumur hidup, bisikan ini selalu menghantui. Apa iya aku harus mendekatinya lantas mengutarakan isi hatiku? Tidak, tidak. Ah,tapi mungkin aku memang harus mencobanya.

Aku rasa ini akan menjadi susah. Untuk menyapanya saja, sekadar bilang "hai" saja tidak bisa,bibir ini kelu, seperti ada yang menahan. Aku menjadi pesimistis. Aku belajar untuk menerima setiap kejadian yang terjadi, termasuk kejadian aku menjadi kaku didepannya. Tak mungkin lah aku dapat mengenalnya lebih dalam bahkan sampai memilikinya.

Aku hanya bisa menunggu, menunggu waktu yang tepat. Mungkin aku mengungapkannya bersamaan dengan kedatangan rombongan keluargaku ke rumahnya. Ya, aku memang seserius itu, aku sudah dewasa. Aku benar-benar ingin memilikinya sebagai pendampingku, sebagai seseorang yang akan aku ajak ke surga. Aku sudah berniat baik, cukuplah untuk menambah catatan amalanku, dan semoga pula Tuhan memberikan cara aku dan dia akan bertemu, bertemu sebagai sepasang yang selama ini sedang mencoba untuk saling menemukan.

Tuhan sudah menjanjikan, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik, begitu pula sebaliknya. Tugasku hanya menunggu sambil terus memperbaiki diri. Apakah iya aku sudah pantas mendampinginya? Menjadi pemimpin sekaligus pelindung buatnya? Belum. Aku masih nol besar soal ini.

Yang selama ini jadi pertanyaan, yang membuatku penasaran setengah mati, apakah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku? Oh, andai aku bisa menanyakannya segera. Tapi aku terlalu takut dengan jawabannya. Aku takut jika dia menjawab tidak. Apa yang harus aku lakukan? Berhenti dan meninggalkannya? Berhenti berjuang untuknya? Entahlah. Tapi hati berkata bahwa aku harus terus berusaha untuknya.

Tuhan memang Maha Membolak-balikkan hati. Yang awalnya cinta menjadi tidak cinta. Yang awalnya peduli tiba-tiba jadi benci. Dalam sekejap, hati manusia bisa saja berubah. Aku tak bisa menyangkal, itu sudah kodrat manusia. Jika iya dia mencintaiku, bisa saja beberapa hari kemudian cinta itu hilang. Aku sangat takut. Aku takut kehilangan cinta dari orang yang aku cintai.

***

Senja ini, akan menjadi saksi akan keberanianku. Aku sudah melawan semua pikiran buruk. Aku tidak membiarkan mereka menang, ini akan menjadi takdirku. Tuhan, kuatkanlah aku. Aku sudah berniat baik, ini untuk diriku, kehidupanku, dan masa depanku.

Dengan kemantapan hati yang sudah aku bangun berbulan-bulan, aku melangkahkan kaki untuk menemuinya. Berharap semua akan baik-baik saja, pun aku berharap akan lebih baik dari yang terbaik. Dia, seseorang yang aku cintai, pandangannya sangat teduh, wajahnya sungguh menenangkan hati. Itulah yang dinamakan kecantikan diri, cantik yang tanpa dibuat-buat, murni tanpa kepalsuan dan topeng. Aku yakin dialah bidadariku yang Tuhan janjikan, dialah pendampingku di dunia dan di surga. Semoga, semoga akan selalu begitu.

Semakin dekat dengannya, langkahku semakin lambat. Detak jantungku yang semakin cepat. Rasanya tubuhku sudah basah oleh keringat dingin. Sanggupkah lidahku berucap? Oh Tuhan, kuatkanlah diriku. Dia, sekarang hanya satu depa didepanku.

"Hai." Aku berhasil menyapanya. Oh, Tuhan.

"Eh, hai." Jawabnya lengkap dengan senyuman yang begitu manis.

Mata kami bertatapan sejenak, sungguh, sungguh ini membuatku lemas. Tapi, seperti ada sesuatu dimatanya. Mataku sudah berbicara dan matanya sudah menjawab. 

"Aku ingin bicara padamu sebentar. Bolehkah?"
Dia mengangguk.

"Sebelumnya aku mau minta maaf, aku mengganggumu. Tapi benar-benar ada yang ingin aku sampaikan. Biar aku tidak penasaran lagi."

"Iya, utarakan saja. Aku akan mendengarkan baik-baik."

"Selama ini, emm..selama ini. Begini, aku sudah yakin, aku sudah mantap, aku ingin mengajakmu ke surga. Bersamaku."

"Apa maksudmu?" Wajahnya terlihat tidak tenang.

"Aku mencintaimu, Naya."

"Tidak, tidak, jangan bercanda padaku." Jawabnya diiringi tawa yang agak sinis. 

"Serius, aku serius. Percayalah. Apa kamu tidak mengerti tatapanku? Mataku sudah berbicara, tidak bohong."

Dia hanya diam. Tak berkata apa-apa.

"Aku mencintaimu." "Aku mencintaimu, Kanaya."
Lama, dia hanya diam. 

"Pergi, pergi saja." Dia menatapku tajam. Lalu bergegas meninggalkanku.
Aku kejar dia, langkah kecilnya sangat cepat. 

"Hei, kenapa kamu meninggalkanku?"
Dia menghentikan langkahnya. "Aku mohon, pergilah." 

"Kenapa malah mengusirku? Kamu bahkan tidak menjawab soal perasaanku?" Aku tidak bisa menahan kekecewaan.

"Pergilah. Pergi saja. Aku minta kamu pergi."

Kami bertatapan lagi, sama-sama tatapan yang tajam. Ada sedih, ada marah, ada kecewa, dan ada ketakutan di mata itu.

"Oke. Jika itu yang kamu mau. Terimakasih."


Aku marah, aku kecewa. Rasanya seperti tidak ingin melihat wajahnya lagi. Wajah yang menyakitiku. Dirinya yang menghancurkan perasaanku. Senja ini memang menjadi saksi atas keberanianku. Keberanianku untuk meninggalkannya.[]






Parakan, 17 Maret 2015
Aulia RA


Pergi Saja (1)

Posted by Aulia RA , 01:03

Hari ini, pertemuan ini, tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku tak menyangka bahwa ini merubah segalanya. Aku percaya, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Apapun yang terjadi sudah disiapkan skenarionya oleh Tuhan. Dan berbagai skenario itu memiliki suatu tujuan. Karena aku telah sadar, kebetulan-kebetulan itu bernama takdir.

***

Aku adalah seseorang yang memiliki kebiasaan baru sekarang. Memikirkannya. Entah mengapa, apapun yang dia lakukan selalu nampak indah dimataku. Terlebih saat dia tersenyum. Ah, tidak dapat hilang dari pikiran, bahkan saat tidur pun masing terbayang. Tuhan, indah sekali makhluk yang Kau ciptakan itu, sungguh, itu benar-benar mahakaryaMu. 

Tapi dia tak lebih dari sekadar angan. Tidak, tidak, aku tak akan memilikinya. Lebih baik aku lupakan saja dirinya, pikirku. Oh Tuhan, Kau tahu apa yang aku rasakan, tolonglah jangan perumit keadaan, aku tidak ingin menyakitinya. Aku harus mundur, ya, aku harus mundur, lagi-lagi pikiran ini datang. Sudahlah, mungkin aku harus menjalani tanpa tahu keadaan yang pasti.

Cinta, mengapa selalu saja rumit? Karena terkadang cinta bukan hanya soal dua orang yang saling mencintai, memiliki perasaan yang sama, atau telah bersepakat membuat komitmen. Padahal sebenarnya cinta itu perkara sederhana, jika kita bisa sabar, bersabar sedikit. Yang bikin rumit cinta adalah manusia itu sendiri. Terlalu tergesa-gesa, terlalu gegabah, terlalu sok pintar, terlalu sok mampu, dan terlalu sok pantas.

Seperti urusanku yang satu ini. Aku yang terlalu tergesa-gesa padahal baru kemarin, persis kemarin ini baru saja bertemu dengannya. Apakah iya ini memang cinta? Cinta yang datang dengan sangat cepat? Bahkan mengenalnya pun belum, hanya sekadar tahu nama saja. Aku tak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Itu cuma omong kosong, bualan orang-orang yang memuja cinta. Tapi dengan apa yang terjadi padaku ini, apakah kejadian ini belum cukup membuktikan bahwa cinta semacam itu memang ada? Atau bisa jadi ini adalah kekaguman sesaat saja? Entahlah. Butuh waktu lama untuk membuktikan hipotesis itu.

Ketika jatuh cinta, seperti ada kupu-kupu yang ingin keluar dari perutmu. Membuat agak mual dan sedikit geli. Ada perasaan yang bercampur aduk disitu. Lalu kupu-kupu tersebut berhasil keluar. Ia terbang di sekitar kepalamu, berkeliling mengitarinya. Macam ada bunga saja diatas rambutmu. Bahkan saat si kupu-kupu mengepakan sayapnya, ia mengeluarkan bubuk cahaya yang berpendar, memukau. Cinta, membuat yang tak ada seolah-olah menjadi ada dan membuat yang ada menjadi sepuluh kali lebih nyata.

Perkara ini semakin serius saja seiring bertambahnya waktu. Aku meyakinkan diri, ini bukan kekaguman sesaat, ini adalah cinta. Aku telah jatuh cinta dengan dia. Meskipun aku belum terlalu mengenalnya. Aku tak munafik, aku ingin memilikinya, sangat ingin memilikinya. Bahkan ada kemantapan yang muncul bahwa aku tak hanya ingin menjadi kekasihnya tetapi juga ingin menjadi pendamping hidupnya. 

Tetapi lagi-lagi aku merasa tak pantas untuk memilikinya. Dia sudah terbang ke langit sedangkan aku masih berpijak di bumi. Jauh. Sulit untuk menggapainya. Aku selama ini hanya diam, berharap tatapanku dapat berbicara padanya, mengatakan bahwa aku mencintainya.[]





Parakan, 17 Maret 2015


Aulia RA

Bingung dan Benci

Posted by Aulia RA , Sunday, 15 March 2015 17:18

Aku sangat bingung dan benci.

Bingung, karena sebenarnya siapa yang berhak menunggu dalam urusan ini. Siapa yang sebenarnya tak sadar membuat ini menjadi tampak buram, tidak jelas, gantung. Hal ini bukan jemuran yang harus digantung dulu biar kering, bukan pula sepatu yang rela digantung saat pemain sepak bola kelas dunia dengan bermacam alibinya memutuskan untuk berhenti menggiring bola di tengah riuh rendah para suporternya. Bukan, bukan begitu seharusnya. Walaupun kau mau berkali-kali bilang entah sampai kapan harus menunggu, kau harus sadar bahwa kaulah yang aku tunggu. Kau harus memutuskan untuk berpihak pada siapa. Berpihak pada hatiku atau hatinya. Aku bingung, aku harus menanggapimu bagaimana sementara kau memiliki komitmen dengan pihak lain. Yang notabene lebih sulit ditunggu oleh orang yang sudah sepakat membuat komitmen dengan kita dibanding mencintai orang yang lainnya lagi. Dalam pertentangan dan persimpangan ini, aku tak tahu harus bagaimana.

Benci, karena terjebak dalam masalah ini. Masalah yang datang tak terduga, tak terencana sebelumnya. Lalu ia meletup bagai uranium, dan menguar bersama hilangnya oksigen suci di atmosfer. Menyapu seluruh jagad. Yang membuat aku berharap bahwa ini cuma halusinasiku saja. Namun saat aku cubit tanganku, aku merasakan sakit. Dan saat aku mengiris dadaku, aku merasa seperti ingin mati. Yang membuatku ingin memiliki mesin waktu, menelusuri sepanjang koridor dan lorong waktu dan akhirnya sampai sebelum ke masa ini. Masa dimana aku belum mengenal benci, waktu dimana aku belum merasakan perasaanku. Tapi apa mau dikata, aku tak dapat melakukannya. Karena semesta tak pernah membantuku dan jagad raya terlanjur ogah untuk jadi penolong. 







Bintaro, 7 Maret 2014


Aulia RA




p.s. judul sebenarnya adalah bingung, benci, dan muak

Sendiri

Posted by Aulia RA , Friday, 13 March 2015 22:21

Aku hanya sendiri di hiruk pikuk kehidupan
Aku hanya ujung gerimis di tengah badai topan
Aku hanya sebatang lidi dihempas terpaan
Aku hanya belulang yang lepas dari perkumpulan

Lantas, siapa yang akan membawaku ke keramaian?
Sebuah pasar yang didalamnya menjual bermacam permen
Yang penjualnya banyak melakukan kecurangan
Tentang siapa yang mampu bertahan
Ketika harimau membawamu dalam terkaman
Ketika nyawamu dipertaruhkan oleh setan

Sebuah pasar yang mengenalkanmu tentang perdagangan
Soal untung rugi penjualan
Soal manis getir penipuan
Sebuah pasar yang mengajarimu tentang pengabdian
Soal uang jadi Tuhan
Soal nafsu yang dituhankan

Lantas, siapa yang akan membawaku ke keramaian?
Ketika disana hanya gudang pelacuran
Mulut menganga kesetanan
Uang kertas berterbangan
Koin emas berserakan
Dan pakaian-pakaian ditanggalkan

Ah, rimbaku tak kunjung ditemukan
Persetan dengan keramaian
Aku dibalik nisan
Terbakar oleh bara Tuhan

Aku hanya seorang keparat diantara orang-orang sialan
Aku hanya berak di tengah orang beriman
Aku hanya hina diantara pujian
Aku hanya wanita di tengah pengkhianatan




Parakan, 13 Maret 2015
Aulia RA

Salahkah Aku, Cinta?

Posted by Aulia RA , Tuesday, 10 February 2015 19:17




Cinta.

Banyak sekali yang bisa kita bicarakan mengenai benda bernama cinta. Hal menyedihkan, menyakitkan, pun membahagiakan dapat terjadi karena cinta. Siapa yang dapat menyangkal datangnya cinta ini? Tidak ada.
Cinta itu buta. Cinta itu gila. Cinta itu misteri. Cinta itu hina.

Akan aku ceritakan padamu tentang hal ini, Kawan. Buatku, cinta itu tega. Sangat sangat tega. Cinta sangat menyiksa. Bagaimana tidak? Cinta datang tiba-tiba, tidak memandang siapa yang akan ia datangi. Cinta datang begitu saja dan tidak gampang ia pergi. Kadang cinta tak datang di waktu yang tepat, sehingga ada seseorang yang tersakiti. Tak dapat kutampik pula jika cinta itu datang tanpa kesengajaan. Cinta itu tega tapi juga tidak sepenuhnya bersalah. Bahwa sebenarnya takdirlah yang membuat cinta hadir. Dari banyak kebetulan yang manusia alami, manusia tidak sadar bahwa kebetulan-kebetulan itu bernama takdir.  

Salah satu kebetulan bernama takdir itu adalah ketika kita mencintai seseorang yang sudah dimiliki orang lain. Ya, orang yang kita cintai ternyata mencintai orang lain. Betapa menyakitkannya kenyataan tersebut. Kita sungguh-sungguh ingin menampik perasaan itu. Namun, perasaan adalah perasaan. Kita tidak bisa membohonginya. Aku mencintainya, iya, memang itu yang aku rasakan. Berbagai pertanyaan muncul. Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa harus dengannya? Mengapa kenyataannya seperti ini? Sekuat tenaga kita mencoba lari dari kenyataan itu, tapi ia justru lebih kuat mengejar kita. Semakin kita tidak peduli padanya, semakin sulit untuk melepas. Rasanya sudah tak sanggup untuk pergi dari cinta. Ah, teganya cinta itu. Andai saja aku tak memiliki segumpal perasaan cinta ini. Aku tak akan merasa selemah ini. Gamang, bimbang, takut, kecewa, terluka, semua bercampur jadi satu. Melupakan seseorang mungkin tak sesulit melupakan perasaan. 

"Ketika kau jatuh cinta dengan orang yang sudah dimiliki orang lain, mengakui kenyataannya adalah menyakitkan. Semakin kau tahu berapa besar mereka saling mencintai, rasa sakit yang kau rasakan, dan itu akan lebih menyakitkan jika kau memilih untuk menjadi seorang pengalah. Kau harus menjaga dalam-dalam setiap perasaan, menunggu untuk melihat bahwa kau baik baik saja disini.

Lalu, salahkah?

Mungkin, itu hanya waktu yang tidak tepat yang kita miliki. Berjalannya waktu lambat laun mempertemukan kita nantinya. Kita bertemu pada waktu yang salah dan kaulah yang terluka."
Lagi-lagi, tidak ada yang dapat menyalahkan cinta. Cinta itu datang tiba-tiba, tanpa permisi, tanpa mengenal siapa yang akan ia datangi. 

Kita juga tidak bisa menyalahkan seseorang yang mencintai orang yang sudah dimiliki orang lain. Dia tidak tahu jika sudah ada yang memiliki, ataupun sudah tahu dan cinta yang datang tidak tepat. Entahlah. Susah untuk menyelesaikan perkara soal cinta. 

Saat mencintai seseorang kita hanya bisa memberi. Bukankah tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah? Terlebih untuk menerima, menerima setiap keadaan, entah itu menyenangkan atau menyakitkan. Lalu, kita hanya bisa menunggu. Menunggu sampai tiba waktunya kita akan dipertemukan dengan seseorang yang kita cintai dalam sebuah ikatan manis, lalu disebut sejoli. Namun, jika pada akhirnya kita tidak dipertemukan dengannya, kita harus mau menerima. Biarkan dia hidup bahagia bersama orang yang mencintainya dan kita senantiasa mendoakannya. Dalam proses menunggu itu, kita jatuh cinta sendirian dan menjaga cinta sendirian. Dengan harapan akan mendapat yang terbaik. Harapan untuk hidup bersamanya.
Cinta bukan soal memiliki atau tidak memiliki. Tapi cinta adalah soal menerima.




Parakan, 10 Februari 2014 ; 19:50
Aulia RA