Pergi Saja (2)

Posted by Aulia RA , Tuesday, 17 March 2015 10:24

Ternyata sudah selama ini aku membohonginya. Menyembunyikan apa yang dihati dan juga tak kunjung mengutarakan isi hati. Semoga aku kuat menyimpan di hati yang mungkin sampai mati. Aku hanya tidak ingin menyakiti.

Tetapi ketika aku berpikiran demikian selalu ada bisikan-bisikan yang mengatakan bahwa aku harus bergerak. Berusahalah, berjuanglah, dan bergeraklah untuk mendapatkannya, jika tidak kau akan menyesalinya seumur hidup, bisikan ini selalu menghantui. Apa iya aku harus mendekatinya lantas mengutarakan isi hatiku? Tidak, tidak. Ah,tapi mungkin aku memang harus mencobanya.

Aku rasa ini akan menjadi susah. Untuk menyapanya saja, sekadar bilang "hai" saja tidak bisa,bibir ini kelu, seperti ada yang menahan. Aku menjadi pesimistis. Aku belajar untuk menerima setiap kejadian yang terjadi, termasuk kejadian aku menjadi kaku didepannya. Tak mungkin lah aku dapat mengenalnya lebih dalam bahkan sampai memilikinya.

Aku hanya bisa menunggu, menunggu waktu yang tepat. Mungkin aku mengungapkannya bersamaan dengan kedatangan rombongan keluargaku ke rumahnya. Ya, aku memang seserius itu, aku sudah dewasa. Aku benar-benar ingin memilikinya sebagai pendampingku, sebagai seseorang yang akan aku ajak ke surga. Aku sudah berniat baik, cukuplah untuk menambah catatan amalanku, dan semoga pula Tuhan memberikan cara aku dan dia akan bertemu, bertemu sebagai sepasang yang selama ini sedang mencoba untuk saling menemukan.

Tuhan sudah menjanjikan, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik, begitu pula sebaliknya. Tugasku hanya menunggu sambil terus memperbaiki diri. Apakah iya aku sudah pantas mendampinginya? Menjadi pemimpin sekaligus pelindung buatnya? Belum. Aku masih nol besar soal ini.

Yang selama ini jadi pertanyaan, yang membuatku penasaran setengah mati, apakah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku? Oh, andai aku bisa menanyakannya segera. Tapi aku terlalu takut dengan jawabannya. Aku takut jika dia menjawab tidak. Apa yang harus aku lakukan? Berhenti dan meninggalkannya? Berhenti berjuang untuknya? Entahlah. Tapi hati berkata bahwa aku harus terus berusaha untuknya.

Tuhan memang Maha Membolak-balikkan hati. Yang awalnya cinta menjadi tidak cinta. Yang awalnya peduli tiba-tiba jadi benci. Dalam sekejap, hati manusia bisa saja berubah. Aku tak bisa menyangkal, itu sudah kodrat manusia. Jika iya dia mencintaiku, bisa saja beberapa hari kemudian cinta itu hilang. Aku sangat takut. Aku takut kehilangan cinta dari orang yang aku cintai.

***

Senja ini, akan menjadi saksi akan keberanianku. Aku sudah melawan semua pikiran buruk. Aku tidak membiarkan mereka menang, ini akan menjadi takdirku. Tuhan, kuatkanlah aku. Aku sudah berniat baik, ini untuk diriku, kehidupanku, dan masa depanku.

Dengan kemantapan hati yang sudah aku bangun berbulan-bulan, aku melangkahkan kaki untuk menemuinya. Berharap semua akan baik-baik saja, pun aku berharap akan lebih baik dari yang terbaik. Dia, seseorang yang aku cintai, pandangannya sangat teduh, wajahnya sungguh menenangkan hati. Itulah yang dinamakan kecantikan diri, cantik yang tanpa dibuat-buat, murni tanpa kepalsuan dan topeng. Aku yakin dialah bidadariku yang Tuhan janjikan, dialah pendampingku di dunia dan di surga. Semoga, semoga akan selalu begitu.

Semakin dekat dengannya, langkahku semakin lambat. Detak jantungku yang semakin cepat. Rasanya tubuhku sudah basah oleh keringat dingin. Sanggupkah lidahku berucap? Oh Tuhan, kuatkanlah diriku. Dia, sekarang hanya satu depa didepanku.

"Hai." Aku berhasil menyapanya. Oh, Tuhan.

"Eh, hai." Jawabnya lengkap dengan senyuman yang begitu manis.

Mata kami bertatapan sejenak, sungguh, sungguh ini membuatku lemas. Tapi, seperti ada sesuatu dimatanya. Mataku sudah berbicara dan matanya sudah menjawab. 

"Aku ingin bicara padamu sebentar. Bolehkah?"
Dia mengangguk.

"Sebelumnya aku mau minta maaf, aku mengganggumu. Tapi benar-benar ada yang ingin aku sampaikan. Biar aku tidak penasaran lagi."

"Iya, utarakan saja. Aku akan mendengarkan baik-baik."

"Selama ini, emm..selama ini. Begini, aku sudah yakin, aku sudah mantap, aku ingin mengajakmu ke surga. Bersamaku."

"Apa maksudmu?" Wajahnya terlihat tidak tenang.

"Aku mencintaimu, Naya."

"Tidak, tidak, jangan bercanda padaku." Jawabnya diiringi tawa yang agak sinis. 

"Serius, aku serius. Percayalah. Apa kamu tidak mengerti tatapanku? Mataku sudah berbicara, tidak bohong."

Dia hanya diam. Tak berkata apa-apa.

"Aku mencintaimu." "Aku mencintaimu, Kanaya."
Lama, dia hanya diam. 

"Pergi, pergi saja." Dia menatapku tajam. Lalu bergegas meninggalkanku.
Aku kejar dia, langkah kecilnya sangat cepat. 

"Hei, kenapa kamu meninggalkanku?"
Dia menghentikan langkahnya. "Aku mohon, pergilah." 

"Kenapa malah mengusirku? Kamu bahkan tidak menjawab soal perasaanku?" Aku tidak bisa menahan kekecewaan.

"Pergilah. Pergi saja. Aku minta kamu pergi."

Kami bertatapan lagi, sama-sama tatapan yang tajam. Ada sedih, ada marah, ada kecewa, dan ada ketakutan di mata itu.

"Oke. Jika itu yang kamu mau. Terimakasih."


Aku marah, aku kecewa. Rasanya seperti tidak ingin melihat wajahnya lagi. Wajah yang menyakitiku. Dirinya yang menghancurkan perasaanku. Senja ini memang menjadi saksi atas keberanianku. Keberanianku untuk meninggalkannya.[]






Parakan, 17 Maret 2015
Aulia RA


0 Response to "Pergi Saja (2)"

Post a Comment