Waktu Aku Sama Kamu

Posted by Aulia RA , Thursday, 6 August 2015 00:40

Aku pernah lancang bilang ke kamu, "Aku nggak bahagia sama kamu!" Maafkan aku, aku sangat tidak berterimakasih ke kamu. Aku jahat. Aku egois. Sebenarnya aku belum mengerti benar definisi kebahagiaan itu seperti apa. Apakah bahagia itu jika aku punya banyak uang? Punya banyak barang mewah? Apakah ketika aku selalu mendapat hadiah dari kamu? Ucapan selamat tidur dari kamu? Tidak. Bahagia bukan itu. Sekarang aku paham, bahagia itu saat aku sama kamu. Cukup kehadiranmu saja, aku sudah sangat senang. Waktu aku sama kamu, aku lupa sejenak dengan segala permasalahan yang menimpaku. Aku senang mendengarkan ceritamu, aku senang saat kamu meledekku "ebrot" (walau sedikit kesal), aku senang memasak nasi goreng bersamamu, aku senang melihatmu menghabiskan makananku (aku sering tidak habis saat makan), aku senang melihatmu tertidur pulas apalagi sambil ngorok dan ngiler, aku senang melihat wajahmu ketika bangun tidur; wajahmu lucu seperti anak kecil yang kebingungan, dan aku senang menjadi perempuan yang kamu titipkan hatimu padanya. Ya, aku bahagia. Aku bahagia waktu sama kamu. Lewat hal-hal kecil dan sederhana, aku bahagia.

Aku jadi teringat dengan masa-masa dulu. Masa perkenalan kita. Kita dipertemukan oleh sebuah kampus. Dan ternyata kita berada di kelas yang sama. Aku benar-benar tidak menyangka. Sebuah kelas yg mayoritas anak laki-laki, ternyata ada satu lelaki yang nyantol di hatiku. Prosesnya terbilang cukup lama. Tidak langsung begitu saja. Sejak hari pertama masuk kuliah sampai berbulan-bulan sesudahnya, aku tidak merasakan apapun padamu. Aku yang begitu cuek, menutup hati, dan agak membencimu. Bukan membenci ya, lebih tepatnya kesal, karena sebuah kejadian di awal perkuliahan. 

Temanku bercerita padaku bahwa dia menanyakan soal pacarmu dan kamu jawab aku. "Pacarmu siapa?" temanku bertanya.
"Tuh, anak Temanggung," jawabmu.
Satu-satunya anak Temanggung di kelas itu adalah aku. Atau mungkin aku dan temanku yang "kegeeran". Ah, intinya temanku itu menggodaku. "Ciye ciye, pacarnya anak Temanggung.." godanya.
Saat itu, aku melihatmu sedang mengumpulkan KTP anak laki-laki, tidak tahu untuk apa. Lalu tiba-tiba kamu datang menghampiri aku dan temanku. "Aul, mana KTP-mu?" tanyamu.  Batinku, buat apa tanya KTP, bukannya yang dikumpul hanya anak laki-laki. "Nggak ada, buat apa?" aku balik bertanya. "Mau aku bawa ke KUA, buat daftarin kita, hehe," jawabmu bercanda. "Idiiih, gombal iyuuh!" batinku dalam hati. Aku hanua menjawab "Aiiih" dan kamu hanya tertawa kecil. Temanku langsung menjerit menggoda, "Aaaa, dibawa ke KUA, daftarin nikahan!" 

Apakah kamu ingat dengan hal itu? Pasti kamu tidak ingat. Dan aku, entah kenapa bisa mengingatnya padahal saat itu aku belum ada rasa apa-apa sama kamu. Masih ada hal-hal kecil bahkan sepele yang aku ingat tentangmu, di awal kuliah tentunya. 

Beberapa bulan berlalu, lalu ada kegiatan kampus bernama "Capacity Building". Dimana kita harus menginap selama empat hari di perkemahan, tidur di dalam tenda, berkutat dengan lumpur dan kegiatan fisik lainnya yang dipandu oleh para Kopassus. Karena kegiatan itu, aku merasa diperhatikan olehmu. Kita yang sering berkirim pesan singkat. Kamu yang selalu berpesan agar aku jaga kesehatan, agar aku tidak pingsan. Ya, kamu sudah tahu aku mempunyai fisik yang lemah. Dan sebelum kita berangkat, ternyata kamu mengirimkan sebuah sms yang isinya juga sama. Menyuruhku jaga kesehatan, jika tidak kuat jangan dipaksakan agar aku tidak pingsan. Tapi pesan itu aku buka saat kita sudah pulang dari perkemahan. Aku sedikit kecewa, aku terlalu cepat berangkat jadinya tidak membaca sms-mu dulu. Di kegiatan itu kita tidak boleh membawa handphone. 

Saat kita semua berkumpul di lapangan sebelum berangkat ke perkemahan, aku mencarimu tapi aku tidak menemukanmu. Padahal kita ini satu kelas. Berbaris juga satu kelas. Tapi aku tidak melihat sosokmu. Aku resah. Sampai akhirnya kita semua berpencar mencari kelompok masing-masing. Selama kegiatan di perkemahan pun aku tetap mencarimu, tapi tetap saja aku tidak menemukanmu. Hingga akhirnya kita kembali ke kampus. Aku buru-buru turun dari bis, aku sudah jijik dengan tubuhku, ingin segera mandi. Empat hari di perkemahan aku tidak mandi. Tapi saat berjalan di dekat air mancur, aku melihatmu, kita berpapasan, aku sangat senang. Kamu mengomentari diriku, "Buluk banget sih.." Hanya aku jawab dengan "hehe" dan aku segera bilang "duluan ya". Aku pulang menuju kos dengan jalan cepat sambil menahan rasa senang tentunya. 

Sejak saat itu mulai tumbuh rasa simpati. Kita makin sering berkomunikasi, via sms tentunya. Tapi di kelas kita saling diam. Kita hanya sebatas teman kelas yang jarang mengobrol, bahkan tidak pernah. Aku malah lebih dekat dengan teman lelaki yang lain. 

Akhir 2013, aku mendadak menjauh darimu, menjadi sangat cuek padamu. Aku mengetahui satu hal tentangmu. Tidak, aku tidak boleh menjadikan rasa simpati ini menjadi rasa yang lebih dalam. Kecewa? Iya. Bahkan aku sampai menangis. Di setiap aku sedang nyaman dengan seseorang, ada saja hal-hal yang membuatku berhenti sampai disitu. Tidak boleh melanjutkan rasa. Aku bersalah jika kuteruskan. Lebih baik aku diam, aku mengalah. Tidak usah berharap terlalu tinggi. Nanti jatuh, sakit.

Menjadi dingin, cuek, dan tidak peduli. Menanggapimu seadanya. Singkat-singkat saja. Maaf, itu juga untuk kebaikan kita. 

Tanggal 15 Februari 2014. Entah ada angin apa, sejak hari itu, semua berubah. Berawal saat kamu menanyakan tugas kuliah. Kita asik berkirim pesan sampai larut malam. Aku jadi tahu tentang dirimu yang sebenarnya, sedangkan aku masih menutupi semuanya. Aku takut jika memiliki perasaan yang "sama". Aku membantah hatiku sendiri. Aku selalu bilang tidak. Aku tidak boleh menumbuhkan perasaan ini, sangat tidak boleh. 

Kamu yang sejak hari itu sering mengirimiku sebuah tulisan yang membuatku kaget, takut, senang, ah sepertinya semua rasa bercampur jadi satu. Aku berpikir, jadi selama ini kamu memperhatikanku? Kamu tahu detail tentangku, tentang kebiasaan yang aku lakukan di kelas. Seperti memutar-mutar bolpoin dengan jariku atau membenarkan kerudungku yang kadang maju ke depan. Aku tidak menyangka. Sejak hari itu pula, kita selalu tahu kabar masing-masing dari pagi sampai malam, dari bangun tidur sampai mau memejam mata. Komunikasi kita tak pernah putus. Ya, aku nyaman dengan keadaan itu, aku senang, aku bahagia, aku jatuh cinta.

Kamu terlalu pintar membuatku jatuh cinta padamu. Aku sudah tidak secuek dan sedingin dulu.
Aku kaget ketika kamu tiba-tiba bilang sudah ada di depan kost-ku. Aku degdegan, aku bingung. Aku mondar-mandir di dalam kamar, mengatur nafas. Aku segera turun untuk menemuimu. Ternyata kamu memang benar ada disana, sedang asik menghabiskan susu kotak sambil menungguku. Ah sosok itu. Aku makin dag dig dug. 

"Lama banget.." katamu.
"Hehe." Aku bingung mau menjawab apa.
"Nih buat kamu." Hah? Kamu memberiku bahan untuk ujian besok. Kamu tahu aku belum punya bahan yang itu, kamu memfotokopikan dan memberikannya padaku tanpa aku meminta. Masih hangat pula bekas fotokopiannya. Oh, Tuhan, perhatian sekali dia.
"Ya ampun kamu baik banget." Aku sangat senang. "Bentar ya aku ambil duit dulu buat ganti."
"Eh gausah gausah. Udah itu buat kamu. Dipelajari ya.."
"Ini serius?"
"Iya.."
"Makasih banget ya. Makasih. Baik banget deh.." Aku sungguh sangat senang.
"Yaudah, aku pulang dulu ya. Dipelajari beneran lho itu."
"Iya iya.. Makasih ya. Iih jam baru ciyee.." Mataku tertuju pada jam ditangannya, jam yang baru-baru ini aku lihat, berbeda dari jamnnya yang sebelumnya.
"Hehe. Udah lama ini kok.. Duluan ya.."
"Iya hati-hati."

Kamu hanya tersenyum dan berbalik. Memasukkan tanganmu ke saku jaket hitammu dan berjalan pulang. Ah, senyum itu, yang memunculkan lesung di kedua pipimu. Manis sekali. 

Liburan semester satu. Tiada hari tanpa ada kabar darimu. Saling berkirim foto masa kecil, bercerita kegiatan di setiap harinya. Aku makin nyaman denganmu. Perasaan ini makin lama makin kuat. Jatuh cinta, aku sudah lama tidak merasakannya. Dan ketika aku merasakan kembali, aku merasakannya denganmu. 

Liburan usai, waktunya kembali ke perantauan, kembali kuliah. Aku tidak sabar bertemu denganmu. Hari senin pagi di ruang komputer, aku tidak melihatmu, rupanya aku datang lebih dulu daripada kamu. Aku menghidupkan komputer dan asik mengobrol dengan teman-teman. Tak lama, kamu datang. Kamu duduk sebaris denganku terpisah beberapa meja. Lalu kamu menghampiriku, menanyakan keadaan komputer di sebelahku. Kamu mengeceknya. Di posisi sedekat itu, jantungku berdetak sangat kencang. Saat mata bertemu mata, ada hal yang tanpa dibicarakan pun kita sudah tahu. Bahwa kita ingin saling memiliki dan melengkapi. Kita saling jatuh hati.

Kita terus berkomunikasi, chatting sampai larut malam, membicarakan hal-hal yang tidak penting. Dan membicarakan hati kita masing-masing. Kita sudah tahu perasaan kita tapi aku yang masih ragu. 

23 Maret 2014, pagi hari aku sudah mendapat chat panjang darimu yang berujung pada "Siapkah kita menjadi sepasang kekasih?". Selesai membaca, air mataku jatuh. Ya, aku menangis. Aku bingung, aku ragu. Aku harus maju atau mundur. Harus iya atau tidak. Aku memilih diam. Tak mengindahkan pertanyaanmu. Membiarkan semua jadi gantung. Membiarkan kita tetap pada kondisi seperti kemarin dan kemarin. Di masa ini pula aku pernah berbohong padamu, maafkan aku. 

Akhirnya, bulan April 2014 hari kelima, Sabtu waktu Maghrib. Ketidakjelasan kita berakhir. Aku yang sedang asyik menikmati segelas jus mangga di kamar setelah lelah berbelanja, mendadak kaget dengan pesan yang kamu kirim. Kamu bilang kamu sudah di depan kos ku. Sebelumnya saat aku masih berbelanja, kamu sering tanya aku sudah selesai belanja atau belum, sudah sampai kost atau belum. Ternyata kamu mau datang, tapi untuk apa, menjelang maghrib begini pula. Aku segera menemuimu, aku masih berpakaian seperti saat aku belanja tadi, belum sempat beres-beres apalagi ganti baju. 

Kamu tersenyum, lalu berkomentar tentang pakaianku. "Rapi banget.."
"Hehe, iya.. Kan aku barusan keluar, belanja, jadi ya kayak gini." Jelasku padamu.
"Aku mau nyelesein pembicaraan kita yang belum selesai."
Apa maksudnya kamu berbicara seperti ini, aku takut, jantungku bergemuruh, aku tak tenang. Aku menundukkan kepala. Aku hanya menjawab, "Ya.."
Adzan maghrib berkumandang, kita diam berdiri di samping pintu pagar. Aku masih menundukkan kepala, sesekali melihatmu yang terlihat gelisah, tapi matamu tegas.
Mendengar suara adzan aku jadi lebih tenang.
Lalu kamu lanjutkan lagi pembicaraanmu dengan suara tenang, yang justru membuatku takut untuk menatapmu, lagi-lagi aku hanya menundukkan kepala.

Dan pada akhirnya aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Rasanya susah untuk bicara. Aku bahagia, ya bahagia karena bisa memulai janji untuk selamanya denganmu. Tak perlu penjelasan lagi bahwa kita sudah jelas malam itu. Entah apa hal-hal yang akan kita hadapi bersama, yang kulihat hanya hal-hal baik saat itu. 

Kita sudah ciptakan banyak cerita. Sembunyi-sembunyi dari temen sekelas, aku yang takut tidak nyaman saat di "cie" kan oleh teman-teman. Dan segala alasan yang aku tak ingin banyak orang tahu tentang kita. Berbeda denganmu yang sudah lebih dewasa dari aku, untuk apa kabar bahagia ditutupi. Ah, tapi aku juga malu saat itu.

Aku jadi teringat saat kita "taruhan" saat nonton pertandingan sepakbola di televisi. Tim yang aku dukung menang, begitu sebaliknya. Itu tandanya kamu harus membelikanku es krim. Ya, kamu menepatinya. Menjelang maghrib sepulang aku mengerjakan tugas di kos teman, kamu mengantarku pulang. Saat aku hendak masuk ke dalam kos, kamu mengeluarkan sesuatu dari tas mu. Es krim. Ya, lengkap dengan dua sendok kecil. Ternyata itu alasanmu membawa tas, untuk menyimpan es krimnya sebelum kamu beri kepadaku. Awalnya aku menolak, aku tidak mau menerima barang hasil taruhan karena haram. Aku tidak serius soal taruhan itu, hanya bercanda. Tapi kamu bilang bahwa kamu memang berniat membelikannya untukku, bukan sebagai hukuman kalah taruhan. Seharusnya kita bisa menikmati es krim itu berdua, tapi sudah maghrib ternyata, aku segera masuk dan kamu pun pulang.

Semua cerita tentang kita, satu pun, aku tidak bisa melupakannya. Terlebih saat kamu begitu mendukungku saat aku berada di titik terjatuhku. Tanpamu aku tidak bisa bangkit lagi seperti sekarang. Pertolonganmu, pengorbananmu, dan semua tentangmu begitu berarti dan berharga.

Tapi jika sudah terucap perpisahan, semuanya harus berhenti. Aku masih ragu. Tapi aku sudah tidak tahan.
Kini pun aku harus selalu menghadapi diammu. Aku hanya menginginkan kejelasan seperti saat dulu kamu menginginkannya dariku. 

Perubahan pasti ada, perpisahan pasti terjadi.
Sejujurnya, sungguh aku tidak ingin. Sangat tidak mau.
Aku hanya perempuan yang mencintai laki-laki yang terus saja diam. Aku ingin kita selalu baik, sebagai apapun itu.
Sekali lagi, aku masih mencintaimu. Sama seperti dulu. Bahkan sekarang sudah lebih dari yang dulu.
Yogyakarta, 15 Agustus 2015 | 12:29
Aulia RA

0 Response to "Waktu Aku Sama Kamu"

Post a Comment