Buat Ibu
Posted by Aulia RA , Friday, 8 November 2013 22:58
Ibu,
aku adalah perempuanmu satu-satunya. Anak pertama pula. Lantas, apa engkau
harus sampai sebegitunya melarang-larangku? Melarangku untuk melakukan hal yang
sedari dulu ingin aku lakukan. Aku bukan anak perempuan yang dengan manjanya
merengek minta dibelikan boneka. Memelas-melas minta baju atau sepatu baru
warna merah muda. Sampai saat usia yang
ke-17 kini, aku pun tak meminta hal-hal yang biasanya diinginkan anak perempuan
seusiaku.
Saat
gadis-gadis seusiaku baru saja diberi jatah uang bulanan oleh orang tua mereka,
aku hanya mendapat jatah harian. Tujuh ribu rupiah. Ya, jaman SMA beberapa
bulan silam. Uang saku ku yang hanya cukup untuk untuk ongkos pulang-pergi
sekolah dan jajan ala kadarnya di kantin, tak mungkin lah dengan uang tersebut
aku bisa membeli barang-barang kesukaan anak perempuan pada umumnya. Walaupun
ibu sering menanyakan, segitu cukup Ris? Aku
hanya mengangguk. Mencukup-cukupkan. Aku tak suka membawa uang banyak-banyak.
Takut habis buat beli yang tak semestinya dibeli. Boros. Melihat teman makan es
krim, aku hanya berpikir, ah enaknya, mending
sisa uang saku ini ditabung buat beli backpack gede daripada buat beli es krim,
ingat Ris, ngirit. Lihat teman sekelas membawa tabloid fashion baru di
kelas, ya ampun mending duitnya ditabung
buat beli sandal gunung. Atau saat tahu teman punya handphone android baru,
gila tu anak, itu hape beli sendiri apa
dibeliin ya? Kalo aku sih mending buat beli buku kek, novel kek. Aku memang
bukan tipe anak yang jika menginginkan sesuatu harus bisa atau langsung
dipenuhi. Mesti pikir-pikir dulu. Nabung dulu. Apalagi sesuatu yang aku
inginkan itu bukan barang yang sering diinginkan anak perempuan seusiaku.
Sesuatu yang hanya orang tertentu saja yang mau punya, beli dan menggunakannya
untuk hal ekstrim.
Ya,
aku hanya ingin naik gunung. Aku ingin membeli semua perlengkapan ke gunung.
Backpack besar-tinggi, sepatu/sandal gunung, matras, tenda dan semuanya yang
berkaitan dengan pendakian gunung. Alamak, pasti keren sekali anak perempuanmu
ini kalau sudah siap dengan dandanan selayaknya pendaki beserta segala
perlengkapannya. Apalagi saat turun dari gunung-gunung yang sudah aku daki,
anakmu ini masih saja berkelana ke daratan-daratan indah yang menghampar di
bumi ini. Eropa, Amerika, Australia, Asia. Seluruh
dunia sudah kupijak, Ibu, itu yang aku katakan kepadamu setelah pulang dari
pengelanaanku itu. Ibu tahu Rusia? Kata orang, daratan itu bisa terlihat dari
bulan. Lalu anakmu ini meluncur ke bulan. Membuktikan kata orang tersebut.
Tapi
oh tapi, semua itu hanya rekaan anakmu saja. Coba saja ini bnar-benar terjadi
di alam nyata. Pasti tetangga kita akan bilang, wah anakmu ini hebat sekali ya bu, sudah pernah kemana-mana. Kau
akan bangga sekali mendengarnya, anakmu seorang petualang sejati. Tapi sekali
lagi, ini bukan kenyataannya.
Keinginanku
memang aneh dan sederhana, tidak berlebihan. Aku hanya ingin menjajaki bumi
ini. Menelisik hingga ke palung-palung terdalamnya, setelah sebelumnya
menaklukkan tanah tertingginya. Aku harus mengenali siapa yang rela aku injak
sehari-hari, siapa yang rela aku ludahi saat dahakku memaksa keluar, siapa rela
aku kutuk ketika aku marah dan bingung ingin menyalahkan siapa. Lantas aku
bilang, kejamnya dunia ini, terkutuk kau!
Dan aku pun bisa belajar darinya. Sebuah pelajaran yang tidak aku dapatkan di
sekolah formal. Belajar untuk saling menghargai, hidup bersama dengan
orang-orang asing yang ditemui di setiap perjalanan, makan seadaanya yang
penting kenyang, menerapkan hukum alam dan rimba di tempat dan kehidupan yang sesungguhnya serta belajar bagaimana
caranya agar aku bisa bertahan hidup.
Semuanya
ini tidak dapat berjalan sesuai keinginanku karena satu hal, satu kendala.
Restumu. Entah sudah ke berapa kalinya aku minta izin untuk naik gunung. Sejak
pertama kali aku bilang, yaitu saat aku masih SMA, sampai sekarang pun ketika
aku sudah menjadi mahasiswi, restu itu belum aku dapat. Masa mudaku semakin
tipis. Usia ku makin bertambah. Aku ingin menggunakan 90 % masa mudaku untuk
bertualang. Haha, bahkan sekarang sepersepuluhnya saja belum terlaksana. Aku ingin
merasakan hidup di alam asli, mendengar lembut bisikan-bisikannya, menatap elok
parasnya.
Ya,
aku ingin merasakan sari pati hidup. Edensor…
Post a Comment