Aku tidak
sabar menunggu datangnya hari ini, hari yang kamu janjikan. Hari yang menjadi
pertemuan aku dan kamu setelah lama tak bertemu, menahan rindu. Pertemuan nanti
adalah ritual melepas kangen, merasakan kembali aroma tubuhmu, hangat pelukmu,
dan mesra kecupmu.
Kukayuh sepeda
tua kesayanganku menuju tempat pertemuan kita. Sebuah tempat dimana disitu ada
danau yang tidak begitu besar, di sekelilingnya ada berbagai macam pepohonan,
bunga ester dan bunga lili. Aku ingin impian kita terwujud, untuk bisa membeli
tempat ini, lalu kita bangun rumah kita. Aku juga ingin membangun rumah pohon
di salah satu pohon-pohonnya. Anak-anak kita pasti senang sekali, berlarian di
tanahnya yang coklat, memancing ikan dan bermain-main di danaunya. Udaranya segar,
sejuk, anginnya berhembus lembut. Aku ingin segera tiba saat itu, kita yang
selalu mesra, anak-anak yang selalu bahagia, disana, rumah kita. Masa depan
kita.
Aku tidak
bisa membayangkan apa saja yang berubah dari kamu. Atau masih sama saja seperti
dulu? Kulit coklatmu, kumis tipismu, mata tajammu, alis tebalmu, dan ah, semuanya
yang tak akan aku sebutkan. Serta segala yang ada pada dirimu, yang mungkin
telah berubah. Kamu tahu? Jerawat bandel di pipi kiriku sudah hilang, dan
rambutku sudah bertambah panjang. Aku suka dengan rambutku yang hampir
sepinggang ini, tapi ujungnya aku potong
sedikit, biar kelihatan rapi waktu ketemu kamu.
Di keranjang
di belakang sepedaku, aku membawakanmu sesuatu yang kamu pasti sangat suka. Kubawakan
makanan favoritmu, nasi goreng, kamu pasti belum sarapan. Sekarang nasi goreng buatanku
sudah enak, tidak seperti dulu lagi, semoga kamu suka. Nanti kita makan bersama
disana. Teh manis hangat juga akan membuat dirimu lebih baik kan di pagi ini? Aku
juga membawa cemilan untuk menemani kita mengobrol nanti. Sudah seperti mau
piknik saja ya aku ini, hehe. Oh iya, selain itu aku juga membawakan hadiah
buat kamu. Buku favoritku, yang aku ingin sekali kamu membacanya, semoga kamu
ada waktu luang untuk membaca buku ini ya. Dan sebuah hadiah satu lagi yang
kamu akan tahu isinya saat kamu membuka bungkusannya, dan semoga kamu terkesan.
Hari ini,
Sabtu pukul delapan pagi. Sungguh, aku sangat tidak sabar. Kukayuh sepedaku
lebih kencang.
***
Akhirnya,
aku sampai juga di tempat favorit kita, tempat pertemuan kita.
Namun aku
belum menemukan sosokmu disana, diseberang danau hanya ada ayah dan anak sedang
memancing. Kulirik arlojiku, masih menunjukkan pukul delapan kurang lima belas
menit. Ah, kamu selalu begitu, datang tepat waktu, jika tidak ya terlambat. Oke,
kali ini aku menang dari kamu, aku datang lebih dulu.
Rasanya aku
sudah lama sekali tidak merasakan keindahan tempat ini. Tempat yang selalu
memberikan inspirasi untuk menulis atau menggambar. Untung saja buku sketsa ini
selalu aku bawa, jadi sembari menunggumu aku akan membuat gambar ilustrasi ayah
dan anak yang memancing disana.
Menggambar
selalu membuatku lupa waktu, dan ternyata saat ini sudah pukul sembilan. Benar-benar
tak terasa. Dan kamu belum juga datang, aku khawatir. Tidak mungkin kamu lupa
dengan janjimu sendiri. Janji yang kamu tulis dan kamu kirimkan kepadaku 5
bulan lalu. Dan tidak mungkin kamu tega membatalkan janji ini tanpa memberitahuku sebelumnya. Aku bingung
dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu kuputuskan untuk tetap menunggumu. Mungkin
kamu ada sesuatu yang membuatmu terlambat datang, atau halangan yang lainnya. Tak
dapat kusangkal aku sangat khawatir. Apa kamu mengerjaiku saja? Cuma mempermainkanku?
Aku coba tetap berpikiran jernih.
Aku berjalan-jalan
mengelilingi danau, memetik beberapa bunga. Nasi goreng dan tehnya sudah tidak
hangat lagi. Ayah dan anak tadi sudah beranjak meninggalkan dermaga di pinggiran
danau. Aku duduk disana, melamun. Membayangkanmu sudah berdiri dibelakangku
lalu memanggilku. Dan ketika aku tahu kamu sudah disini, aku akan langsung
memeluk erat dirimu. Namun itu hanya khayalanku saja. Tak pernah terjadi. Air mataku
menetes.
Matahari sudah
berada diatas kepala, menyengat tubuhku. Aku masih saja terduduk disini, tak
peduli sengatan matahari, aku akan tetap menunggumu disini. Biarlah air mataku
menetes dan bercampur dengan air danau, biarlah, aku tidak peduli, akan tetap
menunggumu disini. Biarlah aku sendiri disini, mati disini, aku tak peduli, aku
akan selalu dan tetap menunggumu disini. Sampai kamu datang. Itu bukti
kesetiaanku, jika kamu menanyakan.
***
Kemarin, kulihat awan membentuk wajahmu
Desau angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku
Semalam bulan sabit melengkungkan senyummu
Tabur bintang serupa kilau auramu
Aku pun sadari, ku segera berlari
Ketika menghangatkan
tubuh dan aku menengok ke atas, kulihat awan membentuk wajahmu. Sang bayu
membisikkan namamu. Pun ketika
malam,bulan sabit yang kulihat bahkan melengkungkan senyummu. Gemintang,
konstelasinya, menjadi kamu. Semua yang kulihat, seolah-olah adalah dirimu. Aku
ingin memandang bulan bersamamu, sesuatu yang sudah lama tak aku dapatkan. Aku ingin
menggapai awan dan bulan itu, menggapaimu. Ah, tetapi itu tak nyata,itu hanya khayalan.
Alirnya bagai sungai yang mendamba samudera
Kutahu pasti kemana kan ku bermuara
Semoga ada waktu sayangku
Kupercaya alam pun berbahasa
Ada makna di balik semua pertanda
Firasat ini rasa rindukah ataukah tanda bahaya
Aku tak peduli, kuterus berlari
Apa itu
firasat? Firasat adalah cara alam berbicara kepada kita. Tapi saat itu kita
tidak dapat memahami padahal kita semua bisa berdialog dengan semesta. Karena dari
mulai berbicara, kita hanya mengenal bahasa manusia bukan bahasa alam. Kadang aku
tak tahu, mana yang firasat mana yang bukan. Mana yang firasat mana yang
pertanda. Yang kutahu, aku hanya rindu kamu. Semoga selalu ada waktu. Waktu untuk
bertemu kamu.
Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali, jangan pergi lagi
Dan lihatlah sayang
Hujan terus membasahi seolah luber air mata
Cepat pulang, cepat kembali, jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali, jangan pergi lagi
Ku hanya ingin kau kembali
Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
Cepat kembali, jangan pergi lagi
Aku pun sadari
Kau takkan kembali lagi
Cintaku,
aku ingin kamu cepat pulang. Aku sangat rindu, rindu kamu. Cepatlah, aku tak
sabar. Aku tak bisa sabar jika semua itu tentangmu. Jangan pergi lagi, jangan
tinggalkan aku. Biarkan aku disampingmu. Biarkan aku bersamamu. Mendampingimu dan
hidupmu. Biarkan aku.
Hanya air
mata yang berderai, mengalirkan pertanyaan, “Akankah kamu kembali?”
***
Siang,
panas. Malam, gelap. Hujan, dingin. Aku tak peduli. Aku akan disini sampai kamu
datang. Aku akan pergi meninggalkan tempat ini bersamamu. Bersamamu.
Biarlah
aku sendiri disini, mati disini, aku tak peduli, aku akan selalu dan tetap
menunggumu disini. Sampai kamu datang. Itu bukti kesetiaanku, jika kamu
menanyakan.
***
Itu hanya
firasat. []
Parakan, 21 Maret 2015
Aulia RA
Ternyata sudah selama ini aku membohonginya. Menyembunyikan apa yang dihati dan juga tak kunjung mengutarakan isi hati. Semoga aku kuat menyimpan di hati yang mungkin sampai mati. Aku hanya tidak ingin menyakiti.
Tetapi ketika aku berpikiran demikian selalu ada bisikan-bisikan yang mengatakan bahwa aku harus bergerak. Berusahalah, berjuanglah, dan bergeraklah untuk mendapatkannya, jika tidak kau akan menyesalinya seumur hidup, bisikan ini selalu menghantui. Apa iya aku harus mendekatinya lantas mengutarakan isi hatiku? Tidak, tidak. Ah,tapi mungkin aku memang harus mencobanya.
Aku rasa ini akan menjadi susah. Untuk menyapanya saja, sekadar bilang "hai" saja tidak bisa,bibir ini kelu, seperti ada yang menahan. Aku menjadi pesimistis. Aku belajar untuk menerima setiap kejadian yang terjadi, termasuk kejadian aku menjadi kaku didepannya. Tak mungkin lah aku dapat mengenalnya lebih dalam bahkan sampai memilikinya.
Aku hanya bisa menunggu, menunggu waktu yang tepat. Mungkin aku mengungapkannya bersamaan dengan kedatangan rombongan keluargaku ke rumahnya. Ya, aku memang seserius itu, aku sudah dewasa. Aku benar-benar ingin memilikinya sebagai pendampingku, sebagai seseorang yang akan aku ajak ke surga. Aku sudah berniat baik, cukuplah untuk menambah catatan amalanku, dan semoga pula Tuhan memberikan cara aku dan dia akan bertemu, bertemu sebagai sepasang yang selama ini sedang mencoba untuk saling menemukan.
Tuhan sudah menjanjikan, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik, begitu pula sebaliknya. Tugasku hanya menunggu sambil terus memperbaiki diri. Apakah iya aku sudah pantas mendampinginya? Menjadi pemimpin sekaligus pelindung buatnya? Belum. Aku masih nol besar soal ini.
Yang selama ini jadi pertanyaan, yang membuatku penasaran setengah mati, apakah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku? Oh, andai aku bisa menanyakannya segera. Tapi aku terlalu takut dengan jawabannya. Aku takut jika dia menjawab tidak. Apa yang harus aku lakukan? Berhenti dan meninggalkannya? Berhenti berjuang untuknya? Entahlah. Tapi hati berkata bahwa aku harus terus berusaha untuknya.
Tuhan memang Maha Membolak-balikkan hati. Yang awalnya cinta menjadi tidak cinta. Yang awalnya peduli tiba-tiba jadi benci. Dalam sekejap, hati manusia bisa saja berubah. Aku tak bisa menyangkal, itu sudah kodrat manusia. Jika iya dia mencintaiku, bisa saja beberapa hari kemudian cinta itu hilang. Aku sangat takut. Aku takut kehilangan cinta dari orang yang aku cintai.
***
Senja ini, akan menjadi saksi akan keberanianku. Aku sudah melawan semua pikiran buruk. Aku tidak membiarkan mereka menang, ini akan menjadi takdirku. Tuhan, kuatkanlah aku. Aku sudah berniat baik, ini untuk diriku, kehidupanku, dan masa depanku.
Dengan kemantapan hati yang sudah aku bangun berbulan-bulan, aku melangkahkan kaki untuk menemuinya. Berharap semua akan baik-baik saja, pun aku berharap akan lebih baik dari yang terbaik. Dia, seseorang yang aku cintai, pandangannya sangat teduh, wajahnya sungguh menenangkan hati. Itulah yang dinamakan kecantikan diri, cantik yang tanpa dibuat-buat, murni tanpa kepalsuan dan topeng. Aku yakin dialah bidadariku yang Tuhan janjikan, dialah pendampingku di dunia dan di surga. Semoga, semoga akan selalu begitu.
Semakin dekat dengannya, langkahku semakin lambat. Detak jantungku yang semakin cepat. Rasanya tubuhku sudah basah oleh keringat dingin. Sanggupkah lidahku berucap? Oh Tuhan, kuatkanlah diriku. Dia, sekarang hanya satu depa didepanku.
"Hai." Aku berhasil menyapanya. Oh, Tuhan.
"Eh, hai." Jawabnya lengkap dengan senyuman yang begitu manis.
Mata kami bertatapan sejenak, sungguh, sungguh ini membuatku lemas. Tapi, seperti ada sesuatu dimatanya. Mataku sudah berbicara dan matanya sudah menjawab.
"Aku ingin bicara padamu sebentar. Bolehkah?"
Dia mengangguk.
"Sebelumnya aku mau minta maaf, aku mengganggumu. Tapi benar-benar ada yang ingin aku sampaikan. Biar aku tidak penasaran lagi."
"Iya, utarakan saja. Aku akan mendengarkan baik-baik."
"Selama ini, emm..selama ini. Begini, aku sudah yakin, aku sudah mantap, aku ingin mengajakmu ke surga. Bersamaku."
"Apa maksudmu?" Wajahnya terlihat tidak tenang.
"Aku mencintaimu, Naya."
"Tidak, tidak, jangan bercanda padaku." Jawabnya diiringi tawa yang agak sinis.
"Serius, aku serius. Percayalah. Apa kamu tidak mengerti tatapanku? Mataku sudah berbicara, tidak bohong."
Dia hanya diam. Tak berkata apa-apa.
"Aku mencintaimu." "Aku mencintaimu, Kanaya."
Lama, dia hanya diam.
"Pergi, pergi saja." Dia menatapku tajam. Lalu bergegas meninggalkanku.
Aku kejar dia, langkah kecilnya sangat cepat.
"Hei, kenapa kamu meninggalkanku?"
Dia menghentikan langkahnya. "Aku mohon, pergilah."
"Kenapa malah mengusirku? Kamu bahkan tidak menjawab soal perasaanku?" Aku tidak bisa menahan kekecewaan.
"Pergilah. Pergi saja. Aku minta kamu pergi."
Kami bertatapan lagi, sama-sama tatapan yang tajam. Ada sedih, ada marah, ada kecewa, dan ada ketakutan di mata itu.
"Oke. Jika itu yang kamu mau. Terimakasih."
Aku marah, aku kecewa. Rasanya seperti tidak ingin melihat wajahnya lagi. Wajah yang menyakitiku. Dirinya yang menghancurkan perasaanku. Senja ini memang menjadi saksi atas keberanianku. Keberanianku untuk meninggalkannya.[]
Parakan, 17 Maret 2015
Aulia RA
Posted by
Aulia RA
,
01:03
Hari ini, pertemuan ini, tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku tak menyangka bahwa ini merubah segalanya. Aku percaya, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Apapun yang terjadi sudah disiapkan skenarionya oleh Tuhan. Dan berbagai skenario itu memiliki suatu tujuan. Karena aku telah sadar, kebetulan-kebetulan itu bernama takdir.
***
Aku adalah seseorang yang memiliki kebiasaan baru sekarang. Memikirkannya. Entah mengapa, apapun yang dia lakukan selalu nampak indah dimataku. Terlebih saat dia tersenyum. Ah, tidak dapat hilang dari pikiran, bahkan saat tidur pun masing terbayang. Tuhan, indah sekali makhluk yang Kau ciptakan itu, sungguh, itu benar-benar mahakaryaMu.
Tapi dia tak lebih dari sekadar angan. Tidak, tidak, aku tak akan memilikinya. Lebih baik aku lupakan saja dirinya, pikirku. Oh Tuhan, Kau tahu apa yang aku rasakan, tolonglah jangan perumit keadaan, aku tidak ingin menyakitinya. Aku harus mundur, ya, aku harus mundur, lagi-lagi pikiran ini datang. Sudahlah, mungkin aku harus menjalani tanpa tahu keadaan yang pasti.
Cinta, mengapa selalu saja rumit? Karena terkadang cinta bukan hanya soal dua orang yang saling mencintai, memiliki perasaan yang sama, atau telah bersepakat membuat komitmen. Padahal sebenarnya cinta itu perkara sederhana, jika kita bisa sabar, bersabar sedikit. Yang bikin rumit cinta adalah manusia itu sendiri. Terlalu tergesa-gesa, terlalu gegabah, terlalu sok pintar, terlalu sok mampu, dan terlalu sok pantas.
Seperti urusanku yang satu ini. Aku yang terlalu tergesa-gesa padahal baru kemarin, persis kemarin ini baru saja bertemu dengannya. Apakah iya ini memang cinta? Cinta yang datang dengan sangat cepat? Bahkan mengenalnya pun belum, hanya sekadar tahu nama saja. Aku tak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Itu cuma omong kosong, bualan orang-orang yang memuja cinta. Tapi dengan apa yang terjadi padaku ini, apakah kejadian ini belum cukup membuktikan bahwa cinta semacam itu memang ada? Atau bisa jadi ini adalah kekaguman sesaat saja? Entahlah. Butuh waktu lama untuk membuktikan hipotesis itu.
Ketika jatuh cinta, seperti ada kupu-kupu yang ingin keluar dari perutmu. Membuat agak mual dan sedikit geli. Ada perasaan yang bercampur aduk disitu. Lalu kupu-kupu tersebut berhasil keluar. Ia terbang di sekitar kepalamu, berkeliling mengitarinya. Macam ada bunga saja diatas rambutmu. Bahkan saat si kupu-kupu mengepakan sayapnya, ia mengeluarkan bubuk cahaya yang berpendar, memukau. Cinta, membuat yang tak ada seolah-olah menjadi ada dan membuat yang ada menjadi sepuluh kali lebih nyata.
Perkara ini semakin serius saja seiring bertambahnya waktu. Aku meyakinkan diri, ini bukan kekaguman sesaat, ini adalah cinta. Aku telah jatuh cinta dengan dia. Meskipun aku belum terlalu mengenalnya. Aku tak munafik, aku ingin memilikinya, sangat ingin memilikinya. Bahkan ada kemantapan yang muncul bahwa aku tak hanya ingin menjadi kekasihnya tetapi juga ingin menjadi pendamping hidupnya.
Tetapi lagi-lagi aku merasa tak pantas untuk memilikinya. Dia sudah terbang ke langit sedangkan aku masih berpijak di bumi. Jauh. Sulit untuk menggapainya. Aku selama ini hanya diam, berharap tatapanku dapat berbicara padanya, mengatakan bahwa aku mencintainya.[]
Parakan, 17 Maret 2015
Aulia RA
Aku sangat bingung dan benci.
Bingung, karena sebenarnya siapa yang berhak menunggu dalam urusan ini. Siapa yang sebenarnya tak sadar membuat ini menjadi tampak buram, tidak jelas, gantung. Hal ini bukan jemuran yang harus digantung dulu biar kering, bukan pula sepatu yang rela digantung saat pemain sepak bola kelas dunia dengan bermacam alibinya memutuskan untuk berhenti menggiring bola di tengah riuh rendah para suporternya. Bukan, bukan begitu seharusnya. Walaupun kau mau berkali-kali bilang entah sampai kapan harus menunggu, kau harus sadar bahwa kaulah yang aku tunggu. Kau harus memutuskan untuk berpihak pada siapa. Berpihak pada hatiku atau hatinya. Aku bingung, aku harus menanggapimu bagaimana sementara kau memiliki komitmen dengan pihak lain. Yang notabene lebih sulit ditunggu oleh orang yang sudah sepakat membuat komitmen dengan kita dibanding mencintai orang yang lainnya lagi. Dalam pertentangan dan persimpangan ini, aku tak tahu harus bagaimana.
Benci, karena terjebak dalam masalah ini. Masalah yang datang tak terduga, tak terencana sebelumnya. Lalu ia meletup bagai uranium, dan menguar bersama hilangnya oksigen suci di atmosfer. Menyapu seluruh jagad. Yang membuat aku berharap bahwa ini cuma halusinasiku saja. Namun saat aku cubit tanganku, aku merasakan sakit. Dan saat aku mengiris dadaku, aku merasa seperti ingin mati. Yang membuatku ingin memiliki mesin waktu, menelusuri sepanjang koridor dan lorong waktu dan akhirnya sampai sebelum ke masa ini. Masa dimana aku belum mengenal benci, waktu dimana aku belum merasakan perasaanku. Tapi apa mau dikata, aku tak dapat melakukannya. Karena semesta tak pernah membantuku dan jagad raya terlanjur ogah untuk jadi penolong.
Bintaro, 7 Maret 2014
Aulia RA
p.s. judul sebenarnya adalah bingung, benci, dan muak
Aku hanya sendiri di hiruk pikuk kehidupan
Aku hanya ujung gerimis di tengah badai topan
Aku hanya sebatang lidi dihempas terpaan
Aku hanya belulang yang lepas dari perkumpulan
Lantas, siapa yang akan membawaku ke keramaian?
Sebuah pasar yang didalamnya menjual bermacam permen
Yang penjualnya banyak melakukan kecurangan
Tentang siapa yang mampu bertahan
Ketika harimau membawamu dalam terkaman
Ketika nyawamu dipertaruhkan oleh setan
Sebuah pasar yang mengenalkanmu tentang perdagangan
Soal untung rugi penjualan
Soal manis getir penipuan
Sebuah pasar yang mengajarimu tentang pengabdian
Soal uang jadi Tuhan
Soal nafsu yang dituhankan
Lantas, siapa yang akan membawaku ke keramaian?
Ketika disana hanya gudang pelacuran
Mulut menganga kesetanan
Uang kertas berterbangan
Koin emas berserakan
Dan pakaian-pakaian ditanggalkan
Ah, rimbaku tak kunjung ditemukan
Persetan dengan keramaian
Aku dibalik nisan
Terbakar oleh bara Tuhan
Aku hanya seorang keparat diantara orang-orang sialan
Aku hanya berak di tengah orang beriman
Aku hanya hina diantara pujian
Aku hanya wanita di tengah pengkhianatan
Parakan, 13 Maret 2015
Aulia RA