Hati-Hati

Posted by Aulia RA , Wednesday, 31 December 2014 21:31

Berjuang adalah berani berbeda dari yang lain, berani jatuh, berani sakit, berani dihina, berani sedih, berani tidak bahagia, berani lelah, berani tidak dipercaya, dan berani menangis.

Persetan dengan omongan orang dan bualannya. Persetan dengan ludah yang Anda buang ke muka saya. Persetan!

Anda tidak pernah tahu perjalanan yang saya lalui ini bagaimana. Dan Anda tidak pernah tahu masa depan saya ini akan bagaimana. Sudahlah, tutup saja mulut Anda yang bau busuk itu.

Semoga kita bertemu di masa depan tanpa saling menyakiti pun mencaci-maki.

2015 datang, berhati-hatilah.







Temanggung, 31 Desember 2014 ; 21:27


Aulia RA

Tak Ada

Posted by Aulia RA , Sunday, 21 December 2014 21:16

Tik tok tik tok.

Masih hening.

Tik tok tik tok.

Yang kudengar hanya itu.

Tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok tik tok.
 
Tak ada yang lain. Suara yang kuharapkan sedari dulu. Sedari detik yang lalu, menit yang lalu,jam yang lalu,hari yang lalu, minggu yang lalu, bulan yang lalu,bahkan tahun yang lalu mungkin.

Ternyata semua tak ada. Ya, benar benar tak ada. Hanya ilusi. Hanya bayangan yang kubangun dengan hati berbunga-bunga lantas runtuh dengan kekecewaan yang mendalam.

Tak kuduga. Tak kusangka. Tak dapat kusangkal pula bahwa semua itu tidak ada.

Lagi-lagi hanya ini yang kudengar.
Tik tok tik tok. Tik tok tik tok. Lalu tik tok tik tok lagi.





Temanggung, 21 Desember 2014

Aulia RA

Bahagia, Sedih, Rumah

Posted by Aulia RA , Sunday, 30 November 2014 23:53

Kuberitahu satu hal padamu, Kawan. Hal paling membahagiakan dan menyedihkan adalah dilahirkan didunia.

Mengapa aku bisa berucap demikian?
Begini.

Kita merasakan kebahagiaan ketika dilahirkan didunia, sebab kita bisa merasakan indahnya dunia, walau dunia itu cuma fatamorgana. Kau merasakan cinta dimana? Didunia. Kau bertemu jodohmu lalu punya anak bersama dia dimana? Didunia. Kau merasakan nikmatnya ciuman pertama kekasihmu dimana? Didunia. Kau dapat undian sabun colek satu milyar dimana? Didunia. Kau dapat bermanja-manja dengan orangtuamu dimana? Didunia. Semua kebahagiaan itu kita rasakan setelah kita lepas dari rahim seorang ibu. Ibu yang mengejan menahan kematian mengeluarkan kita dari lubangnya. Pun bagi si ibu sendiri, kebahagiaan dan kesedihannya adalah melahirkan anak-anaknya.

Lalu, kita merasakan kesedihan ketika dilahirkan didunia. Dari kesedihan bertaraf rendahan sampai kesedihan bertaraf hanya-kematian-solusinya-untuk-menghentikan-kesehihan itu. Mulai dari sedih yang bikin bantal basah,mencakar-cakar tembok sampai bunuh diri. Kau merasakan patah hati dimana? Didunia. Kau menjadi perawan/perjaka tua atau ditinggal kawin sama  kekasihmu dengan orang lain dimana? Didunia. Kau mendapat tamparan keras dari kekasihnu atau dapat pengkhiatan atas cinta dimana? Didunia. Kau kalah taruhan piala dunia sepak bola dimana? Didunia. Kau menjadi anak "broken home" dimana? Didunia. Lihatlah, semua kesedihan kau dapatkan setelah dilahirkan didunia.

Memang benar apa yang dikatakan seseorang bahwa roda kehidupan itu selalu berputar. Kadang diatas kadang dibawah. Ada masanya ketika seseorang mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa tak terkira, lalu beberapa tarikan nafas kemudian dia jatuh sejatuh-jatuhnya.

Aku punya pertanyaan buatMu, Tuhan. Bagaimana caraku menghadapi itu semua? Ketika perbandingan antara kebahagiaan dan kesedihan yang aku rasakan seperti perbandingan antara daratan dan perairan di bumi, atau seperti perbandingan antara jumlah laki-laki dan perempuan di dunia saat ini? Ah, aku sulit menerima itu, Tuhan. Aku tidak terima dengan skenariomu.

Rumah.

Apa, Tuhan? Kau bilang rumah? Apa aku tidak salah dengar? Tolonglah, jangan ajak aku bercanda, Tuhan. Ini bukan saatnya untuk bergurau dan main-main denganku. Aku sedang serius ini. Apa maksudMu? Baiklah, aku coba artikan jawabanMu itu. Apakah dengan kehidupanku yang aku anggap mengenaskan ini aku harus mencari ketenangan di sebuah tempat bernama rumah?

Iya.

Oh, Tuhan, mengapa? Mengapa rumah? Kau sungguh tega terhadapku. Asal Kau tahu, rumahku sama sekali tak memberikan ketenangan buatku. Omong kosong kata orang-orang yang bilang "rumahku istanaku,rumahku surgaku". Buatku rumah adalah neraka. Bagaimana tidak, jika yang kulihat dari rumahku adalah tangisan ibu,jeritan ayah, dan wajah ketakutan adik. Dan aku yang menatap kosong adegan drama tersebut. Tak ada air mata yang keluar dari mataku. Aku hanya diam membisu, pandangan kabur, kepala rasanya berputar-putar. Aku sudah cukup frustrasi. Tuhan, aku tambah sedih jika di rumah.

Tuhanku, Kawanku..

Apakah salah jika aku iri dengan kehidupan orang lain yang lebih enak daripada kehidupanku? Aku hanya ingin merasakan apa yang anak seusiaku rasakan. Walau hanya sekejap aku merasakannya. Aku ingin. Benar-benar ingin. Bertubi-tubi cobaan dariMu aku dapatkan. Aku percaya bahwa saat Kau memberi aku cobaan itu tandanya Kau sayang kepadaku, Kau ingin aku selalu mengingatMu. Dan aku percaya disetiap cobaan pasti ada hikmahnya. Disetiap kesulitan pasti akan ada kemudahan. Itu sudah tercatat jelas di kitab agamaMu. Aku percaya, aku selalu percaya.

Tapi mengapa aku tak kunjung lepas dari sedihku?

Kawan, jika kuceritakan kehidupanku yang sesungguhnya. Kau tak akan pernah ingin jadi aku. Namun, kau juga sangat ingin jadi aku. Aku yang masih bertahan dengan semua ini. Bergantung harapan pada kehidupan baru yang kudamba. Membalas segala kesedihan yang berlebihan menghujamku.

Sungguh, aku ingin segera mempunyai kehidupanku yang baru. Membangun rumah tangga bersama suamiku dan melahirkan anak-anakku. Lantas tinggal di sebuah tempat bernama rumah. Kan kubuktikan omongan orang-orang bahwa rumah adalah surga. Aku tak akan pernah membiarkan anak-anakku merasakan apa yang kurasakan dulu dan kini. Rumah yang menjadi tempat paling hangat untuk berteduh dan berlindung dari hujan takdir yang mengungkung. Menjadi satu-satunya tempat untuk kembali. Tak ada tangis, tak ada nada tinggi, tak ada ketakutan, tak ada tatapan kosong. Aku balas semua kesedihanku dengan kebahagiaan anak-anakku. Aku bikin perbandingan kebahagiaan dan kesedihan mereka seperti perbandingan antara jumlah kemenangan pertandingan sepakbola antara Argentina dan Indonesia. Yang perbandingannya bisa jadi adalah sepuluh banding nol.

Anak-anakku di masa depanku, kalian berhak mendapat kehidupan yang lebih baik dari ibumu ini. Tanpa kalian lupakan arti kehidupan itu seperti apa.

Menerima. Ya, menerima. Kalian harus mau menerima.




Temanggung, 30 November 2014 ; 23:47

ARA

Tanpa Kata

Posted by Aulia RA , Thursday, 27 November 2014 21:21

Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata.

Aku hanya seorang bisu yang mencoba mengatakan apa yang ingin aku katakan. Tidak. Aku tidak akan pernah bisa mengatakannya. Hanya mulut komat-kamit ber-a-u-a-u tidak jelas yang nampak. Sampai kapanpun, kata yang ingin kuucap hanya a-i-u a-i-u bagi orang lain. Mulut terbuka tapi yang terdengar adalah decapan akibat gerakan mulut itu sendiri. Bukan suara yang timbul akibat getaran pada pita suara. Ya, selamanya akan tetap begitu. Apakah seperti omong kosong? Ah, itu beda perkara lagi, Kawan.

Aku pikir, tanpa kata yang terucap kau akan mengerti. Tapi, aku begitu bodoh ya. Jelas-jelas aku yang bisu begini, tak menghasilkan suara apapun, bagaimana mungkin kau bisa mengerti. Tanpa kata. Ya, tanpa kata. Tak mungkin kau akan mengerti hanya dengan suara decapan mulut, tak mungkin kau mengerti apa yang hendak aku sampaikan. Aku pikir begitu, ternyata aku salah. Ternyata aku harus tidak tanpa kata untuk membuatmu mengerti.

Tapi apa mau dikata. Sekali bisu tetap bisu. Suara yang kurindukan tak kunjung kembali. Harapan-harapan yang dulu dan kini sudah kubangun, ikut mengilang ketika suara itu juga menghilang. Laiknya satu kesatuan. Harapan muncul tanpa kata. Itu memang benar. Tetapi, Kawan, harapan terwujud bila dengan kata. Bukan tanpa kata. Harapan dan kata seakan menjadi satu kesatuan, seperti yang kubilang tadi. Harapan dan kata datang dari dimensi yang berbeda. Namun, mereka akan memiliki kekuatan bila dimensi yang berbeda itu digabung menjadi satu. Yang kemudian dinamakan sebagai dimensi kehidupan.

Dalam dimensi kehidupan kita dapat bergerak bebas. Ke atas, ke bawah, ke depan ataupun ke belakang. Namun kita tidak bisa bergerak bebas melampaui dimensi itu. Coba bayangkan, jika kita bergerak terlalu bebas sampai menembus batas dimensi kita, kemana harapan yang dulu kita bangun? Dia menguar entah kemana, lenyap.

Ya, harapan akan terwujud apabila harapan tersebut tersampaikan lewat sebuah kata bahkan hamparan kata. Hanya saja kita tak boleh bergerak terlalu bebas, Kawan. Tak boleh lalai dalam hal bernama ekspektasi. Walaupun berekspektasi itu sah-sah saja. Dibayangkan saja ketika ekspektasi kita itu tinggi tapi ternyata ekspektasi itu hilang, kita sudah melayang jauh. Tidak ada yang bisa menarikmu dari tarikan gravitasi bumi. Jatuh. Kita akan jatuh, Kawan. Sakit. Sebelumnya ekspektasi sudah membawamu terhindar dari tarikan gravitasi.

Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata.

Mungkin seharusnya aku tidak tanpa kata. Mungkin seharusnya aku tak menjadi seorang bisu. Mungkin seharusnya aku dapat mewujudkan harapan-harapan yang dulu dan kini sudah kubangun. Mungkin seharusnya aku tak terlena dengan ekspektasi yang kubangun sendirian. Mungkin seharusnya aku tak jatuh. Mungkin seharusnya aku tak sakit.

Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata.

Sungguh, aku sudah sangat lelah.

(Aku yang tak pernah bahagia di hari dimana orang-orang bahagia dengan datangnya hari ini.)

Temanggung, 27-11-2014 ; 21:20

ARA

Tangis

Posted by Aulia RA , Wednesday, 27 August 2014 10:13

Ketahuilah: menangis itu menghidupkan. Menangis itu kebutuhan. Menangis itu pemecah keresahan, penghapus kesalahan. Penghapus dosa-dosa. Menangis itu cara agar kita merasakan hal-hal penting. Tidak ada seruan yang terlihat mahal selagi hati kita diliputi kesombongan yang kita mahal-mahalkan. Bahkan sesungguhnya ia murah. Lebih murah dari permen seratus tiga. Ia tidak berharga karena merugikan adalah satu-satunya kegunaannya. Tengoklah iblis dan ketidakmauannya untuk menangis.

Bertanyalah: apa yang diperolehnya dari ketidakmengertiannya? Betapa keangkuhannya telah sukses besar menjerembabkannya pada derita abadi yang tidak akan berakhir. Dungu karena tidak mau menangis, contoh pedih dari kesengsaraan atas kematian perasaan.


(dari sebuah buku yang saya lupa judulnya)

Selimut

Posted by Aulia RA , Wednesday, 20 August 2014 22:40

Aku ditemani selimut tua berbau busuk.

Di tengah malam mencengkeram kuat selimut itu,menahan rasa sakit yang kian lama kian membuncah. Dada terasa sempit. Tak kuat lagi menampung oksigen. Tercekat. Membisu. Hanya deru napas tersendat-sendat yang tertangkap indera pendengar. Tubuh ini ingin segera mati. Melepas hidup yang nista. Hidup yang tak sepantasnya dihidupi dan dipertahankan.

Hidup dengan memakan borok-borok idealis yang terus mencumbu kawasan metropolis, tak ada kaum humanis yang peduli akan bobroknya birokrasi. Tempe-tempe haram yang dihalal-halalkan, masuk ke kerongkongan busuk para pelacur sialan. Sementara batu-batu panas yang dimasak bersama air got mendidih menyentuh lambung bernanah bayi-bayi suci yang tak terlindungi.

Dimana letak kemanusiaan di bumi neraka ini? Tak ada tempat halus untuk berpijak. Hanya duri-duri beracun yang menjadi tanahnya. Tidak ada harapan untuk hidup lagi. Mungkin hanya orang-orang hina yang masih sanggup bertahan. Bagaimana tidak? Dimana hal sama-sama busuk bersatu, itu akan memperkuat kebusukan hidup ini. Tak ada air mengalir, namun darah-darah bernanah menjadi sungai yang terus bermuara tiada akhir. Aku selalu heran mengikuti hidup ini. Rupanya hukum rimba samar-samar berlaku. Memang yang kuat yang akan menang. Namun yang kuat itu adalah yang nista. Andai aku bisa membunuh waktu, aku akan menghujamnya dengan samurai. Andai aku bisa membunuh jaman, akan aku hunus dengan parang tertajam.






Bintaro, 2 Juli 2014
15.00 p.m


-Aulia Wijanarko-

Dari Kugy Kepada Keenan

Posted by Aulia RA , Tuesday, 20 May 2014 16:46

Hari ini aku bermimpi.

Aku bermimpi menuliskan buku dongeng pertamaku.
Sejak kamu membuatkanku ilustrasi-ilustrasi ini,
aku merasa mimpiku semakin dekat.
Belum pernah sedekat ini.
Hari ini juga aku bermimpi.
Aku bermimpi bisa selamanya menulis dongeng.
Aku bermimpi bisa berbagi dunia itu bersama kamu dan ilustrasimu.
Bersama kamu, aku tidak takut lagi menjadi pemimpi.
Bersama kamu, aku ingin memberi judul bagi buku ini.
Karena hanya bersama kamu, segalanya terasa dekat,
segala sesuatunya ada, segala sesuatunya benar.
Dan Bumi hanyalah sebutir debu di bawah telapak kaki kita.
Selamat Ulang Tahun.

Dari Kugy Kepada Keenan
Perahu Kertas, Dee

Perahu kertasku kan melaju, membawa surat cinta bagimu
Kata-kata yang sedikit gila, tapi ini adanya
Perahu kertas mengingatkanku, betapa ajaib hidup ini
Mencari-cari tambatan hati, kau sahabatku sendiri
Hidupkan lagi mimpi-mimpi, cita-cita
Yang lama kupendam sendiri
Berdua, bisa kupercaya

Ku bahagia, kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada diantara milyaran manusia
Dan ku bisa dengan radarku menemukanmu

Tiada lagi yang mampu berdiri
Halangi rasaku cintaku padamu

Kepada Seorang Lelaki

Posted by Aulia RA , 11:31

Kepada lelaki disana
Yang memandangiku dari sudut
Hati sudah bersambut
Tapi jarak masih terpaut

Kepada lelaki disana
Yang memandangiku dibalik punggung
Perasaan terus menggunung
Dan suara hati terus menggaung

Kepada lelaki disana
Yang memandangiku dari jauh
Kita adalah sepotong hati yang utuh
Untuk menyakitinya korbankan peluh

Kepada lelaki disana
Yang memandangiku dalam diam
Kita sekuat logam
Terus menguat walau sampai malam

Kepada lekaki disana
Yang memandangiku dari tengah keramaian
Aku dan kamu bukanlah suatu keanehan
Untuk selalu bergandengan

Kepada lelaki disana
Yang menjadikanku bunga tidurmu
Setiap hari kita bertemu
Tapi hanya sekali dalam seminggu

Kepada lelaki disana
Yang menyebut namaku dalam doanya
Tak perlu banyak tanya
Untuk yakin mencintainya


Kepada seorang lelaki, dari seorang kekasih yang menantimu di ujung jalan sana.



Bintaro, Selasa, 20 Mei 2104
11.30 a.m

-Aulia Wijanarko-


Minggu Dini Hari

Posted by Aulia RA , Sunday, 4 May 2014 03:39

Ah, sudah jam segini ternyata
Aku masih berada dalam alam nyata
Enggan memasuki dunia maya
Yang penuh dengan gaya

Di Minggu dini  hari
Aku terus menanti
Datangnya saat-saat berarti
Yang mampu obati luka hati

Di Minggu dini hari
Aku lelah menanti
Datangnya saat-saat berarti 
Yang kian tak pasti

Di malam saat tahajud
Aku terlarut dalam sujud
Merasakan benda tak berwujud
Yang aku dapat hanya saat sujud

Di malam saat manusia tidur
Aku masih terpekur
Tak mampu lagi untuk mengukur
Seberapa besar nilai luhur

Ah, aku bosan
Menatap kilau perhiasan
Teringat batu nisan
Yang akan mengunci semua lisan

Aku malas
Beranjak meninggalkan alas
Yang terdiam tak membalas
Bisu bagai sebuah gelas

Aku bingung
Hanya menyisakan dengung
Kian lama kian bergabung
Kumpulan rasa berkabung

Di Minggu dini hari
Aku menyadari
Sungguh bodohnya diri
Termakan rasa iri

Di Minggu dini hari
Aku ingin lari
Meninggalkan duri-duri
Yang menancap di kulit ari

Minggu dini hari
Aku adalah seorang diri
Berlagak sok berani
Menuju ke kamar mandi


Bintaro, Minggu 4-Mei-2014
03.34 a.m

-Aulia Wijanarko-

Angin, Hujan dan Sakit Hati

Posted by Aulia RA , Sunday, 30 March 2014 12:27

Kenapa ada angin?
Agar orang-orang tahu kalau ada udara di sekitarnya.
Tiap detik kita menghirup udara, kadang lupa sedang bernafas.
Tiap detik kita berada dalam udara, lebih sering tidak menyadarinya
Angin memberi kabar bagi para pemikir
Wahai, sungguh ada sesuatu di sekitar kita
Meski tidak terlihat, tidak bisa dipegang
Kenapa ada hujan?
Agar orang-orang paham kalau ada langit di atas sana
Tiap detik kita melintas di bawahnya, lebih sering mengeluh
Tiap detik kita bernaung di bawahnya, lebih sering mengabaikan
Hujan memberi kabar bagi para pujangga
Aduhai, sungguh ada yang menaungi di atas
Meski tidak tahu batasnya, tidak ada wujudnya
Begitulah kehidupan.
Ada banyak pertanda bagi orang yang mau memikirkannya
Kenapa kita sakit hati?
Agar orang-orang paham dia adalah manusia
Tiap saat kita melalui hidup, lebih sering tidak peduli
Tiap saat kita menjalani hidup, mungkin tidak merasa sedang hidup
Sakit hati memberi kabar bagi manusia bahwa kita adalah manusia
Sungguh, tidak ada hewan, binatang yang bisa sakit hati
Apalagi batu, kayu, tanah, tiada pernah sakit hati
Maka berdirilah sejenak, rasakan angin menerpa wajah
Lantas tersenyum, ada udara di sekitar kita
Maka mendongaklah menatap ke atas, tatap bulan gemintang atau langit biru bersaput awan
Lantas mengangguk takjim, ada langit di sana
Maka berhentilah sejenak saat sakit hati itu tiba, rasakan segenap sensasinya
Lantas tertawa kecil atau terkekeh juga boleh, kita adalah manusia

-Darwis Tere Liye-

Dewasakan Aku, Cinta

Posted by Aulia RA , 10:51

Bismillahirrohmanirrohiim.

Kadang aku berpikir, mengapa aku dilahirkan seperti ini, mengapa tak seperti dia, dia, ataupun dia. Bukan. Bukan aku tak bersyukur dengan apa yang aku miliki sekarang. Aku hanya berpikir sejenak, merenungi apa yang ada di diriku dan hidupku. Aku percaya, setiap bayi yang dilahirkan di dunia ini pasti ada alasan untuk dilahirkan. Sampai nanti ia tumbuh dewasa dan memliki segala kekurangan dan kelebihan. Sebelumnya sudah tertulis jelas di kitab bernama Lauhul Mahfuz ini. Kapan matinya, siapa jodohnya, hidupnya akan bahagia atau tidak, dan semua takdir sudah Allah tetapkan untuknya. Aku hanya berpikir, apakah takdirku akan sama seperti dia? Apakah nasibku seperti dia yang lainnya, atau dia dia dia yang lainnya lagi? Ah, entahlah. Aku adalah seperti diriku yang sekarang ini. Seorang gadis yang beranjak dewasa. Yang sedang menikmati proses indah bernama pendewasaan.

Dewasa adalah ketika kita sudah merasakan patah hati. Premis ini tidak cukup kuat untuk menyatakan bahwa seseorang itu sudah dewasa saat ia pernah mengalami patah hati. Ya mungkin saja ada sebagian yang mengiyakan. Tapi jika saat patah hati ia justru galau berlarut-larut, memikirkan sesuatu yang tidak jelas, tiba-tiba menjadi cengeng, apakah ia layak disebut dewasa? Lantas, ada seseorang yang bilang, " Wah, berarti aku sudah sangat dewasa dong. Aku sudah berkali-kali patah hati." Tidak. Bukan seperti itu yang dimaksud. Jika patah hati sebagai tolok ukur, lalu orang yang belum pernah patah hati tapi ia mampu menghadapi segala persoalan hidup dengan ketegaran dan keikhlasan yang besar serta tanpa keluhan dalam menghadapinya, apakah ia bisa disebut belum dewasa? Yang bisa menentukan kita sudah dewasa atau belum hanya diri kita sendiri, bersama orang lain sebagai pengamat yang selalu memberi masukan untuk kita.

Don't judge a book by its cover. 
Kalimat ini sudah ada sejak dahulu kala. Bahkan (sempat) menjadi kalimat sakti. Namun, adakah seseorang yang benar-benar memaknai kalimat ini dengan benar? Yang mempraktekkan kalimat ini dengan benar pula? Tidak. Lebih tepatnya belum. Orang-orang belum mampu menanggapi kalimat ini seperti seharusnya kalimat ini ditanggapi. Mengapa aku membawa-bawa kalimat ini dalam urusan pendewasaan? Karena ini sangat berpengaruh dalam pendewasaanku.

Mungkin aku memang sebuah buku lusuh yang tak pernah terawat. Yang jika dilihat dari sampulnya saja orang takkan bergairah untuk memungutku dan menjadikanku sebagai buku bacaan. Meski masih baru sekalipun. Dan kini buku itu sudah koyak, sisinya sudah robek, banyak yang sudah dimakan rayap, berkutu, sangat menjijikkan. Tapi orang tak tahu yang sebenarnya dibalik sampul buruk tersebut. Sampul itu rela menjadi lusuh, dimakan kutu, robek, demi menjaga apa yang ada di dalamnya. Menjaga lembar demi lembar yang amat berharga. Menjaga cerita-cerita indah yang mengalun mesra saat diceritakan. 

Jika kembali ke realita, orang-orang melihat aku yang seperti ini, menganggap aku begini begitu. Tanpa tau aku yang sebenarnya. Hanya melihat dari "sampul"ku saja. Mungkin hanya beberapa orang saja yang tau aku yang sebenarnya itu bagaimana. Ya, orang-orang terdekatku. Tapi orang tuaku sendiri saja tidak cukup paham denganku. Padahal merekalah orang yang paling dekat denganku. Ah, entahlah. Aku hanya punya keluarga, sahabat dan teman yang (masih) mau menerimaku apa adanya dengan tangan terbuka. Aku hanya ingin menjadi sosok yang sederhana dan apa adanya. Aku tidak mau hidup terlalu ribet. Guruku pernah bilang, "Jangan mempersulit diri sendiri." Ya, aku coba untuk menerapkan kalimat guruku di hidupku yang cukup rumit ini. Sampai akhirnya aku sadar bahwa yang benar-benar dekat denganku hanyalah Allah dan diriku sendiri. Tak ada yang lain.


Kini, tibalah proses pendewasaan itu.
Aku sudah tidak asing lagi dengan benda bernama masalah. Dari ketika aku masih kecil sampai sekarang, masalah yang secara langsung menjadi milikku atau masalah orang lain yang menyeretku ke dalamnya. Aku bisa dibilang sudah cukup tahan banting dengan masalah, dengan cobaan. Masalah yang membuatku berprasangka buruk, akankah aku menjadi anak broken home. Masalah yang membuatku pesimistis, sanggupkah aku bertahan sampai nanti. Dan masalah yang goyahkan keyakinanku, akankah bertemu denganmu, cinta.

Setelah aku menutup hati untuk beberapa waktu yang cukup lama, kini saat aku buka ternyata ada yang hadir. Mungkin sejak beberapa bulan yang lalu. Dan dia yang kini datang untuk menuntut kejelasan dariku. Pun aku. Tapi, ada sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Kejelasan itu sendiri.

Aku hanya tak mau melanggar janjiku. Janji yang sejujurnya belum aku tanda tangani sendiri. Dulu, memang aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak memiliki ikatan dengan seorang ikhwan kecuali dengan cara yang Dia halalkan. Aku tidak boleh melakukannya, sampai aku lulus sekolah menengah atas. Dan kini aku sudah di perguruan tinggi. Otomatis janji itu sudah habis masa berlakunya. Di masa ini aku sudah berniat untuk membuka hati bagi semua orang dan bagi cinta. Tapi tiba-tiba ada sekelebat pikiran, bagaimana jika janjiku aku teruskan saja. Jadi seumur hidupku aku tidak akan pernah merasakan ikatan itu. Aku tak tau akan berakhir bagaimana, aku akan menang atau kalah melawan ego ku. Dan jelas-jelas hati ini tak bisa bohong. Hati ini ingin saling memiliki. Hatiku miliknya dan hatinya milikku. 

Sisiku yang lain dengan tegas berbicara, "Uji saja dia! Jika dia benar-benar sayang kepadamu, suruh untuk menunggumu sampai 1 tahun mendatang, bahkan sampai 5 tahun atau 10 tahun lagi. Apakah yang ia rasakan masih sama seperti sekarang. Dia harus rela menunggumu, mengerti dan menghargai keputusanmu. Dan yang paling penting dia menghormatimu sebagai wanita yang ia cintai. Jika setelah itu dia jauh dari kamu, berarti dia bukan jodohmu. Kalau masih dekat, ya.. kamu dapat menyimpulkan sendiri lah. Sudah, tak usah diambil pusing. Bukankah semua sudah ditentukan sama yang diatas?"

Tapi jika tanpa ikatan itu, aku takut dia pergi. Apakah untuk menunjukkan kasih sayang kita harus dengan hal itu? Adakah cara yang lainnya? Aku tak tahu. Aku bingung. Aku hanya percaya dan mengikuti kata hatiku.

Belum lagi ada yang bilang, "Jangan jadi orang ketiga dong, dosa." Hatiku tersentak. Miris mendengarnya. Sungguh, aku bukan macam perempuan begitu. Sama saja aku dengan pelacur-pelacur di pinggir jalan sana. Entah itu berupa candaan belaka atau memang serius, aku tetap sakit mendengarnya. Dan, sungguh dia tidak tau apa yang terjadi sebenarnya. 

Cinta, mengapa kau begitu rumit?

Cinta, kau boleh menganggapku kolot, aneh, sok suci dan lainnya. Aku hanya berusaha untuk menjaga diriku sendiri. Aku tak mau terjebak dalam fananya nikmat dunia. Mungkin aku berbeda dengan orang di masa lalumu. Tapi inilah aku, aku yang kau kenal dan yang masih belum kau kenal sekarang. 

Ah, cinta memang misteri. Cinta memang abstrak. Yang jelas cinta ada di hati ini, dihatiku. Aku hanya ingin satu sampai mati. Aku tak ingin hatiku aku obral kemana-mana dan jatuh ke orang yang tidak tepat.

Masalah ini, aku harap dapat mendewasakanku. Aku harus bisa melewatinya dengan baik. Tanpa sandungan, tanpa keluhan. Aku mohon, dewasakan aku, cinta.



Bintaro, 30-03-2014


-Aulia Wijanarko-

Mencintaimu

Posted by Aulia RA , Monday, 17 March 2014 11:08



Cinta
Aku mencintaimu
Karena aku memang mencintaimu

Sayang
Aku menyayangimu
Karena aku memang menyayangimu

Rindu
Aku merindukanmu
Karena aku memang merindukanmu

Diam
Ya, aku diam
Diam-diam aku mencintaimu, menyayangimu, merindukanmu
Pun memikirkanmu

Sederhana
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Api kepada kayu yang menjadikannya abu
Itu bunyi syair

Namun bunyi dari hatiku adalah
Aku sungguh mencintaimu
Dengan sederhana, dalam diam
Dan kau selalu menjadi tokoh dalam mimpiku
Menjadi alasan mengapa aku gila
Menjadi harapan, bahwa kau benar-benar lelaki yang menciptakanku dari tulang rusukmu
Aku tak mungkin mengungkapkannya
Aku hanya bisa berdoa untukmu
Semoga selamanya
Satu hal yang harus kau tahu
Aku mencintaimu

Aku Hanya Hidup Saat Juli

Posted by Aulia RA , Saturday, 15 February 2014 20:17




“ B.J. Habibie adalah tokoh yang mendongkrak eksistensi Indonesia di dunia. Berkat kerja cerdasnya, pesawatnya dapat mengudara di langit Indonesia. Dan momen itu merupakan momen yang bersejarah buat negara kita.”
Kali ini tokoh yang dibahas di kelas adalah sosok Habibie. Pak Gatra bercerita dengan berapi-api. Bagaimana tidak, beliau sangat kagum dengan mantan presiden yang satu ini. Pun dengan aku. Habibie memang sangat menginspirasi.
“ Tidak usah ditanyakan lagi, Habibie ini sungguh orang hebat. Beliau pergi ke Jerman, cari ilmu disana lalu pulang ke Indonesia menghasilkan karya besar. Anak-anak, bapak tunggu, diantara kalian semua siapa yang akan jadi Habibie selanjutnya.”
Aku tersenyum lebar. Aku akan menjadi Habibie selanjutnya.
***
Namaku Bima Brajadenta, anak laki-laki yang dibesarkan di keluarga sederhana. Dan akan menjadi seorang yang tangguh. Mungkin itu yang diharapkan orang tuaku memberi nama tersebut. Gabungan dari dua tokoh pewayangan yang punya kekuatan tak tertandingi.
Teringat kata-kata pak Gatra waktu itu, aku selalu bersemangat untuk mewujudkan keinginanku. Menjadi Habibie muda Indonesia. Menjadi insinyur cerdas. Bulan ini, pengumuman penerimaan mahasiswa baru di sebuah institut terkemuka di Indonesia akan diumumkan. Aku sudah percaya diri mendaftar disana, mengambil program studi seperti yang dulu Habibie pelajari. Ya, tinggal beberapa langkah lagi aku akan mengikuti jejaknya.
Le, apa kamu yakin mau kuliah disana? Kamu ini memang pintar, tapi kamu tahu kan kalau ibu sama bapak nggak bisa membiayai kamu kuliah disana. Kita ini cuma keluarga petani, mana mungkin bisa bayar uang kuliah sebesar itu. Itu sekolah orang kaya, le.” Ibu memintaku untuk mempertimbangkannya.
“Bu, masalah biaya nggak usah terlalu dipikir. Disana banyak beasiswanya kok. Itu juga sebabnya aku milih kuliah disana. Yang penting aku bisa diterima disana dulu. Ibu tidak usah khawatir. Nanti sambil kuliah aku juga mau kerja. Ibu tenang saja lah.” Aku meyakinkan ibu.
“Tapi Bima…”
“Sudahlahlah bu, doakan Bima saja ya.”
Yang aku tanamkan dalam diriku adalah niat dan percaya. Kampus yang aku tuju itu bukan kampus tempat orang jenius, apalagi kaya. Tapi tempat orang-orang yang mau berjuang. Dan kini aku sedang berjuang. Aku optimistis, tapi ada temanku yang bilang kalau aku terlalu ambisius. Ini adalah sifat yang paling aku hindari, karena dengan ambisius target yang sudah dibangun bisa jadi amburadul. Sangat melenceng dari sasaran.
Hari H pun tiba. Pukul 4 sore aku sudah standby di warnet untuk melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Berbekal restu dan doa orang tua, aku berharap aku bisa diterima. Situs kampus sudah aku buka. Aku ketikkan nama dan nomor pendaftaranku. Bismillahirrohmanirrahiim… Enter.
Nama                          :Bima Brajadenta
Nomor Pendaftaran    : 14500934
Asal Sekolah                : SMA N Grahamukti
Maaf, Anda tidak lulus seleksi masuk Institut Teknologi Tarumanegara.
Seketika aku merasa jiwaku mati. Aku benar-benar tidak percaya. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Aku gagal. Aku tidak bisa menjadi seperti Habibie. Mimpi yang sudah aku bangun runtuh sempurna. Bagai barisan efek domino, satu kotak ambruk kotak yang lain ikut-ikutan ambruk. Persis seperti hidupku.
Ucapan terimakasih yang seharusnya aku ucapkan untuk kedua orang tuaku tidak jadi aku ucapkan. Doa-doa yang telah aku siapkan saat sujud syukur tak jadi aku panjatkan.
“Gimana Le, kamu diterima kan?” Tanya bapak khawatir. Orang tuaku sudah menungguku di ruang tamu. Aku hanya bisa menunduk lesu. Aku tidak siap memberi kabar buruk ini.
“Maafkan Bima, pak, bu.. Bima belum bisa kuliah disana, tidak lulus seleksi. Bima gagal.” Akhirnya aku memberitahu mereka. Kedua orang tuaku saling bertatapan. Kaget mendengarnya. Bagaimana bisa anaknya yang tergolong cerdas di kelas ini tidak bisa lulus seleksi masuk kampus tersebut. Aku langsung masuk ke kamar. Enggan mengerjakan apa-apa. Mendengar kabar teman-teman yang lulus membuatku lega, setidaknya mereka tidak seperti aku.
Aku laki-laki. Aku tidak boleh menangis karena kegagalan ini. Aku harus mencerminkan namaku. Tetap menjadi laki-laki kuat meski kesedihan di pelupuk mata. Aku masih punya orang tua yang harus aku bahagiakan. Aku tidak boleh berhenti berjuang disini. Hari ini aku memutuskan untuk vakum sekolah setahun dan mendaftar ke kampus itu tahun depan. Kedua orang tuaku tidak setuju dengan keputusanku. Tapi aku bersikeras.
“Tolonglah pak, aku janji tahun depan aku pasti lulus.” Aku memohon pada bapak. Rasa-rasanya bapak sudah tidak  mau mengurusiku, mau sekolah atau tidak. Beliau marah besar. Keputusanku terlalu beresiko. Tapi aku berani mengambil resikonya.
***
Rencana B aku bangun. Pinjam buku-buku teman. Setiap hari belajar namun tetap diselingi dengan membantu orang tuaku. Ya, agar mereka mau meridhoi langkah-langkahku. Saat istirahat di sawah, aku kerjakan soal-soal fisika dengan semangat. Setelah sarapan pagi, matematika jadi hidangan penutup. Begitu aku lakukan setiap harinya.
Juli tahun ini akan menjadi Juli yang berbeda. Aku akan membawa kabar gembira bahwa aku berhasil masuk ke kampus itu. Ujian masuk sudah aku tempuh. Tinggal melihat hasilnya lagi. Seperti tahun lalu, aku bergegas ke warnet untuk melihat pengumumannya. Dengan mantap aku ketikkan nama dan nomor pendaftaranku lalu klik enter. Ku pejamkan mata.
Saat mataku terbuka kembali…
Maaf, Anda tidak lulus seleksi masuk Institut Teknologi Tarumanegara.
Aku ulangi mengetik nama dan nomor pendaftaran, barangkali aku salah ketik. Klik enter.
Maaf, Anda tidak lulus seleksi masuk Institut Teknologi Tarumanegara.
Tuhan sedang bergurau denganku rupanya. Dia tega mempermainkanku. Dia bilang dia akan memenuhi keinginanku jika aku berusaha dan berdoa. Tapi apa kenyataannya sekarang. Dia berbohong.
***
Setelah 2 kali gagal, aku belum kapok juga. Tahun depannya aku masih ikut seleksi. Dan kawan, aku kembali gagal. Aku benar-benar seperti pengangguran gara-gara 3 tahun tidak kuliah. Dan aku tidak pernah menyadarinya bahwa aku terlalu memaksakan diri.
Tapi, karena kegagalan-kegagalan itu aku benar-benar merasakan hidup. Hidup yang sesungguhnya. Aku pernah mendengar pepatah lama bahwa yang membuat kita menikmati hidup adalah berjuang. Aku berjuang lebih dibanding teman-temanku. Aku merasa menjadi orang yang beruntung. Dipilih Tuhan untuk menikmati sari pati hidup. Di Juli, puncak-puncaknya aku hidup karena aku dapat kegagalan di bulan ini.
Tentang orang tuaku, mereka sudah tidak peduli dengan diriku. Aku memang sangat mengecewakan mereka. Aku pun memilih merantau meninggalkan kampung. Mencoba mencari pekerjaan di perantauan. Aku memang tidak akan pernah menjadi seperti Habibie. Tapi akan hidup dengan menjadi diriku sendiri. Kini, aku tidak hanya akan hidup di Juli saja. Setiap hari, bulan dan tahun aku selalu hidup. Karena aku selalu berjuang.
-selesai-



-Aulia Wijanarko-