I Have Trapped Here #1
Posted by Aulia RA , Saturday, 7 December 2013 00:32
"Sekarang giliran yang ulang tahunnya bulan November maju ke depan ya.. Aulia sama Rifky."
Perintah pak Mey, guru fisika kami. Hari ini sedang pelajaran fisika, seperti biasa kami selalu moving ke lab fisika setiap pelajaran ini. Jarang berada di ruang kelas. Kebetulan agenda kali ini adalah latian soal menjelang UN, kami duduk satu kelompok. Alih-alih mengerjakan soal, beberapa siswa disuruh maju ke depan sesuai urutan bulan kelahirannya untuk menjawab pertanyaaan yang diajukan oleh teman kami dan menyampaikan cita-cita kami.
Aku dan Rifky pun maju. "Ya, siapa yang mau ngasih pertanyaan ke mereka? 3 pertanyaan ya.." tanya pak Mey ke teman-teman. Akhirnya Naila, Saka dan Dyas yang memberi pertanyaan pada kami. Waduh sial, kenapa yang nanya mereka, kan mereka orang-orang maju, batinku. Dan aku yang menjawab duluan.
Pertanyaan pertama dari Dyas. "Apa yang akan kamu lakukan kalau punya uang banyak?" Dengan sepele aku menjawab, "Akan aku gunakan buat berangkatin haji ortu dan membantu sesama, karena aku punya cita-cita ingin membangun panti asuhan dan rumah singgah buat anak-anak jalanan." Tsaaah. Cukup biasa jawabannya. Nggak ada yang standing applause sama jawabanku.
Pertanyaan kedua dari Saka. "Milih waktu apa uang?" Hmm, simpel. Tapi bingung jawabnya gimana. Akhirnya aku jawab. "Waktu, karena dengan waktu yang kita miliki, kita dapat melakukan apa saja. Waktu tidak dapat dicari dengan uang, tapi uang dapat dicari dengan waktu." Singkat dan tidak bermutu jawaban ini.
Pertanyaan terakhir dari Naila. "Benda apa yang paling kamu takuti?" Berpikir cukup keras untuk menjawab ini. Jangan-jangan entar ditakut-takutin lagi, pikirku. "Ulat bulu. Ya, ulat bulu." Jawabku akhirnya. "Ooohh.." Teman-teman menggumam. Jawaban yang sangat meyakinkan.
"Cita-citamu kuliah apa?" tanya pak Mey. Oh ibu, ini sungguh pertanyaan yang sangat ingin aku jawab. Tapi aku malu menjawabnya. Penuh kemantapan tingkat akhirat, aku menjawab.
"Geodesi pak.."
"Ooh, mau ambil dimana?" Tanya beliau lagi. Jegeeerrr. Bumi gonjang-ganjing. Aku nggak mau jawab. Oh ibu...
"ITB pak." Aku menjawab dengan lirih.
"Mana?" Ulang beliau.
"ITB pak. Itebe."
"Ooo yayaya. Suka ngukur tanah ya?"
"Ee, suka yang alam-alam pak. Yang berhubungan sama alam, geologi atau geodesi." Astronomi pak, astronomi, itu cita-cita nomor satu saya pak, jawabku dalam hati.
Ya, astronomi oh astronomi. ITB oh ITB.
Selamanya akan tetap menjadi cita-cita. Apapun itu, bagaimanapun itu.
***
Seberapa besar niat aku masuk ITB? Sangat besar. Sangat sangat besar. Dan justru karena niat aku yang sangat berlebihan itu membuatku mustahil untuk masuk kesana. Bahkan mencium aroma kampus itu pun mustahil.
Semua berawal dari cita-citaku semasa SD. Menjadi seorang astronom. Gara-gara beli majalah Bobo dan sering ada rubrik astronominya, aku jadi berani bercita-cita jadi astronom. Ilmuwan, hebat, jenius, imajinasi tinggi, logika kuat. Benar-benar wow! Cita-cita terus terbawa sampai SMP. Di masa ini malah semakin menjadi-jadi. Belajar otodidak astronomi. Kebetulan selama 3 tahun aku sekolah di SMP 1 Parakan, tidak ada ekskul astronomi. Tapi saat aku lulus, ekskul astronomi diadakan. Sial. Sial sial sial! Teringat tentang itu aku selalu menggerutu.
Sejak SMP sudah memutuskan masa depanku harus berada di bidang astronomi. Kuliah astronomi, jadi astronom, nulis ensiklopedia astronomi, kerja di LAPAN (Alhamdulillah bisa di NASA), jadi penemu galaksi baru, membuat teori/aksioma/hukum astronomi dan memecahkan UFO.
Masuk SMA, harus bisa masuk jurusan IPA dan kuliah di ITB. Ya, ITB satu-satuya universitas di Indonesia yang memiliki program studi astronomi. Bahkan satu-satunya di Asia Tenggara. Mau tidak mau aku harus berjuang agar bisa kuliah di institut itu. Institut yang katanya terbaik se-Indonesia. Ya, ITB, Institut Terbaik Bangsa. Kalau aku tidak bisa kuliah di ITB berarti aku tidak bisa menjadi astronom. Optimistis bisa kesana. Tapi tidak ambisius.
Masuk IPA? Sudah terlaksana, tinggal menjalankan kehidupan sebagai anak IPA. Hidup dikelilingi rumus-rumus aneh, teori-teori rumit dan segalanya yang memaksa otak mencerna logika dengan tenaga 2 atau banyak kali lipat. Ini yang membuat aku semakin bersemangat terus belajar. Mengerti apa maksud sigma F sama dengan massa dikali percepatan. Apa yang bisa aku lakukan dengan hukum tersebut. Dan segala hukum-hukum ajaib lainnya. Aku cukup bertahan dengan kehidupanku itu. Walau ternyata sulit dijalani, tapi aku punya semangat tersendiri, keinginan kuat dan passion yang membuatku terus bertahan.
***
Seleksi masuk perguruan tinggi negeri sedang gencar-gencarnya. Sebelum ujian nasional kami sibuk mendaftar SNMPTN yang notabene adalah jalur tanpa tes. Kebetulan tahun ajaran kami jalur ini diikuti oleh seluruh siswa kelas 12. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang hanya beberapa persen yang mengikuti. Itupun hanya siswa-siswa dengan peringkat teratas dan yang mempunyai segudang prestasi.
Ini merupakan kesempatan emas bagiku. Peluang untuk kuliah di ITB sangat besar. Bagaimana tidak, aku bisa saja lolos seleksi ini dan impianku menjadi mahasiswa ITB terwujud. Ya, jika lolos. Itu syarat utamanya. ITB ITB ITB. Akhirnya aku bisa juga mendaftar di kampus ini. Setelah 2 tahun memantapkan diri dan benar-benar yakin bahwa inilah kampus tujuanku. Dengan jurusan yang akan aku ambil disana pula. FMIPA dan FITB. Astronomi. Rasanya semakin dekat saja aku dengan mimpiku.
Namun, niatku untuk mendaftar saja masih terhalang-halang. Hanya mendaftar. Lagi-lagi ibuku tidak setuju dengan keputusanku. Entah apa yang ada di pikiran beliau selalu saja tidak merestui keinginan anak sulungnya. Pikiran pendapat kami tidak pernah klop. Ibu selalu punya banyak alibi untuk menentang keputusanku. Dan aku hanya diam ketika mendengar alibi-alibi yang dilontarkan kepadaku.
"Buat apa kamu kuliah disana? Pingin menjauhi orang tua? Kamu seneng liat orang tuamu nggak pernah ketemu anaknya? Mau jadi apa kamu habis lulus dari sana? Disuruh nurut orang tua saja susahnya minta ampun!" Omel ibuku.
Pagi itu, sambil memakai jilbab aku menangis. Bagaimana tidak menangis jika mendengar perkataan ibu sendiri memojokkan anaknya. Aku tidak bisa menjawab. Takut. Takut jawabanku menambah keburukan hari ini. Hanya akan menambah percekcokanku dengan ibu semakin menjadi-jadi. Terlalu paranoidnya ibuku. Aku ingin kuliah di Bandung karena hanya disanalah program studi impianku ada. Jika ada di Yogyakarta, aku tidak akan susah payah kuliah di Bandung. Lebih baik dekat dengan orang tua dan aku dapat sewaktu-waktu pulang. Masalah tempat kuliah memang sepele. Tapi alibi ibu yang menyangkut mau-jadi-apa-setelah-lulus yang lebih membuatku sedih.
Astronomi memang masih sangat asing di Indonesia. Satu-satunya kampus yang menyelenggarakan program studi astronomi hanya di ITB. Sudah aku singgung tadi. Lapangan pekerjaannya juga sulit. Sangat sulit. Menurut beberapa artikel yang pernah aku baca, kebanyakan lulusan S1 astronomi ITB melanjutkan studinya di luar negeri. Dan tak usah ditanya lagi, mereka sudah pasti berotak jenius. Ini yang memotivasiku. Aku ingin kuliah di luar negeri juga. Di Inggris tepatnya. Negeri Ratu Elisabeth itu menghipnotisku untuk datang kesana. Sebuah universitas tersohor menjadi tujuanku selanjutnya. University of Cambrifge, Institute of Astronomi. Aku ingin mengambil jurusan ini disana. Masih sama.
Tetapi jika ditanya teman atau siapapun mengenai keinginan jurusan dan kampus yang ingin aku tuju, aku tidak menyebutkan astronomi ITB. Melainkan geodesi ITB. Entah menagapa aku malu jika menyebutkan cita-citaku yang sebenarnya. Hanya orang tua dan sahabatku saja yang tau. Guruku pun tidak. Menyebut ITB saja selalu merasa bersalah. Aneh, orang sepertiku kok bisa-bisa mau kuliah disana. ITB itu tempat orang genius. Sangat tidak pantas buatku. Tapi aku yakin, selama masih punya kemauan dan keyakinan besar, aku pasti bisa menggapai mimpi disana.
Astronomi ITB...ah, masa lalu sy.
STAN dan (hanya) D1?
masih ada waktu utk mengejar cahya sitoresmi-mu
maaf numpang lewat, makasih.