Bahagia, Sedih, Rumah

Posted by Aulia RA , Sunday, 30 November 2014 23:53

Kuberitahu satu hal padamu, Kawan. Hal paling membahagiakan dan menyedihkan adalah dilahirkan didunia.

Mengapa aku bisa berucap demikian?
Begini.

Kita merasakan kebahagiaan ketika dilahirkan didunia, sebab kita bisa merasakan indahnya dunia, walau dunia itu cuma fatamorgana. Kau merasakan cinta dimana? Didunia. Kau bertemu jodohmu lalu punya anak bersama dia dimana? Didunia. Kau merasakan nikmatnya ciuman pertama kekasihmu dimana? Didunia. Kau dapat undian sabun colek satu milyar dimana? Didunia. Kau dapat bermanja-manja dengan orangtuamu dimana? Didunia. Semua kebahagiaan itu kita rasakan setelah kita lepas dari rahim seorang ibu. Ibu yang mengejan menahan kematian mengeluarkan kita dari lubangnya. Pun bagi si ibu sendiri, kebahagiaan dan kesedihannya adalah melahirkan anak-anaknya.

Lalu, kita merasakan kesedihan ketika dilahirkan didunia. Dari kesedihan bertaraf rendahan sampai kesedihan bertaraf hanya-kematian-solusinya-untuk-menghentikan-kesehihan itu. Mulai dari sedih yang bikin bantal basah,mencakar-cakar tembok sampai bunuh diri. Kau merasakan patah hati dimana? Didunia. Kau menjadi perawan/perjaka tua atau ditinggal kawin sama  kekasihmu dengan orang lain dimana? Didunia. Kau mendapat tamparan keras dari kekasihnu atau dapat pengkhiatan atas cinta dimana? Didunia. Kau kalah taruhan piala dunia sepak bola dimana? Didunia. Kau menjadi anak "broken home" dimana? Didunia. Lihatlah, semua kesedihan kau dapatkan setelah dilahirkan didunia.

Memang benar apa yang dikatakan seseorang bahwa roda kehidupan itu selalu berputar. Kadang diatas kadang dibawah. Ada masanya ketika seseorang mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa tak terkira, lalu beberapa tarikan nafas kemudian dia jatuh sejatuh-jatuhnya.

Aku punya pertanyaan buatMu, Tuhan. Bagaimana caraku menghadapi itu semua? Ketika perbandingan antara kebahagiaan dan kesedihan yang aku rasakan seperti perbandingan antara daratan dan perairan di bumi, atau seperti perbandingan antara jumlah laki-laki dan perempuan di dunia saat ini? Ah, aku sulit menerima itu, Tuhan. Aku tidak terima dengan skenariomu.

Rumah.

Apa, Tuhan? Kau bilang rumah? Apa aku tidak salah dengar? Tolonglah, jangan ajak aku bercanda, Tuhan. Ini bukan saatnya untuk bergurau dan main-main denganku. Aku sedang serius ini. Apa maksudMu? Baiklah, aku coba artikan jawabanMu itu. Apakah dengan kehidupanku yang aku anggap mengenaskan ini aku harus mencari ketenangan di sebuah tempat bernama rumah?

Iya.

Oh, Tuhan, mengapa? Mengapa rumah? Kau sungguh tega terhadapku. Asal Kau tahu, rumahku sama sekali tak memberikan ketenangan buatku. Omong kosong kata orang-orang yang bilang "rumahku istanaku,rumahku surgaku". Buatku rumah adalah neraka. Bagaimana tidak, jika yang kulihat dari rumahku adalah tangisan ibu,jeritan ayah, dan wajah ketakutan adik. Dan aku yang menatap kosong adegan drama tersebut. Tak ada air mata yang keluar dari mataku. Aku hanya diam membisu, pandangan kabur, kepala rasanya berputar-putar. Aku sudah cukup frustrasi. Tuhan, aku tambah sedih jika di rumah.

Tuhanku, Kawanku..

Apakah salah jika aku iri dengan kehidupan orang lain yang lebih enak daripada kehidupanku? Aku hanya ingin merasakan apa yang anak seusiaku rasakan. Walau hanya sekejap aku merasakannya. Aku ingin. Benar-benar ingin. Bertubi-tubi cobaan dariMu aku dapatkan. Aku percaya bahwa saat Kau memberi aku cobaan itu tandanya Kau sayang kepadaku, Kau ingin aku selalu mengingatMu. Dan aku percaya disetiap cobaan pasti ada hikmahnya. Disetiap kesulitan pasti akan ada kemudahan. Itu sudah tercatat jelas di kitab agamaMu. Aku percaya, aku selalu percaya.

Tapi mengapa aku tak kunjung lepas dari sedihku?

Kawan, jika kuceritakan kehidupanku yang sesungguhnya. Kau tak akan pernah ingin jadi aku. Namun, kau juga sangat ingin jadi aku. Aku yang masih bertahan dengan semua ini. Bergantung harapan pada kehidupan baru yang kudamba. Membalas segala kesedihan yang berlebihan menghujamku.

Sungguh, aku ingin segera mempunyai kehidupanku yang baru. Membangun rumah tangga bersama suamiku dan melahirkan anak-anakku. Lantas tinggal di sebuah tempat bernama rumah. Kan kubuktikan omongan orang-orang bahwa rumah adalah surga. Aku tak akan pernah membiarkan anak-anakku merasakan apa yang kurasakan dulu dan kini. Rumah yang menjadi tempat paling hangat untuk berteduh dan berlindung dari hujan takdir yang mengungkung. Menjadi satu-satunya tempat untuk kembali. Tak ada tangis, tak ada nada tinggi, tak ada ketakutan, tak ada tatapan kosong. Aku balas semua kesedihanku dengan kebahagiaan anak-anakku. Aku bikin perbandingan kebahagiaan dan kesedihan mereka seperti perbandingan antara jumlah kemenangan pertandingan sepakbola antara Argentina dan Indonesia. Yang perbandingannya bisa jadi adalah sepuluh banding nol.

Anak-anakku di masa depanku, kalian berhak mendapat kehidupan yang lebih baik dari ibumu ini. Tanpa kalian lupakan arti kehidupan itu seperti apa.

Menerima. Ya, menerima. Kalian harus mau menerima.




Temanggung, 30 November 2014 ; 23:47

ARA

Tanpa Kata

Posted by Aulia RA , Thursday, 27 November 2014 21:21

Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata.

Aku hanya seorang bisu yang mencoba mengatakan apa yang ingin aku katakan. Tidak. Aku tidak akan pernah bisa mengatakannya. Hanya mulut komat-kamit ber-a-u-a-u tidak jelas yang nampak. Sampai kapanpun, kata yang ingin kuucap hanya a-i-u a-i-u bagi orang lain. Mulut terbuka tapi yang terdengar adalah decapan akibat gerakan mulut itu sendiri. Bukan suara yang timbul akibat getaran pada pita suara. Ya, selamanya akan tetap begitu. Apakah seperti omong kosong? Ah, itu beda perkara lagi, Kawan.

Aku pikir, tanpa kata yang terucap kau akan mengerti. Tapi, aku begitu bodoh ya. Jelas-jelas aku yang bisu begini, tak menghasilkan suara apapun, bagaimana mungkin kau bisa mengerti. Tanpa kata. Ya, tanpa kata. Tak mungkin kau akan mengerti hanya dengan suara decapan mulut, tak mungkin kau mengerti apa yang hendak aku sampaikan. Aku pikir begitu, ternyata aku salah. Ternyata aku harus tidak tanpa kata untuk membuatmu mengerti.

Tapi apa mau dikata. Sekali bisu tetap bisu. Suara yang kurindukan tak kunjung kembali. Harapan-harapan yang dulu dan kini sudah kubangun, ikut mengilang ketika suara itu juga menghilang. Laiknya satu kesatuan. Harapan muncul tanpa kata. Itu memang benar. Tetapi, Kawan, harapan terwujud bila dengan kata. Bukan tanpa kata. Harapan dan kata seakan menjadi satu kesatuan, seperti yang kubilang tadi. Harapan dan kata datang dari dimensi yang berbeda. Namun, mereka akan memiliki kekuatan bila dimensi yang berbeda itu digabung menjadi satu. Yang kemudian dinamakan sebagai dimensi kehidupan.

Dalam dimensi kehidupan kita dapat bergerak bebas. Ke atas, ke bawah, ke depan ataupun ke belakang. Namun kita tidak bisa bergerak bebas melampaui dimensi itu. Coba bayangkan, jika kita bergerak terlalu bebas sampai menembus batas dimensi kita, kemana harapan yang dulu kita bangun? Dia menguar entah kemana, lenyap.

Ya, harapan akan terwujud apabila harapan tersebut tersampaikan lewat sebuah kata bahkan hamparan kata. Hanya saja kita tak boleh bergerak terlalu bebas, Kawan. Tak boleh lalai dalam hal bernama ekspektasi. Walaupun berekspektasi itu sah-sah saja. Dibayangkan saja ketika ekspektasi kita itu tinggi tapi ternyata ekspektasi itu hilang, kita sudah melayang jauh. Tidak ada yang bisa menarikmu dari tarikan gravitasi bumi. Jatuh. Kita akan jatuh, Kawan. Sakit. Sebelumnya ekspektasi sudah membawamu terhindar dari tarikan gravitasi.

Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata.

Mungkin seharusnya aku tidak tanpa kata. Mungkin seharusnya aku tak menjadi seorang bisu. Mungkin seharusnya aku dapat mewujudkan harapan-harapan yang dulu dan kini sudah kubangun. Mungkin seharusnya aku tak terlena dengan ekspektasi yang kubangun sendirian. Mungkin seharusnya aku tak jatuh. Mungkin seharusnya aku tak sakit.

Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata. Tanpa kata.

Sungguh, aku sudah sangat lelah.

(Aku yang tak pernah bahagia di hari dimana orang-orang bahagia dengan datangnya hari ini.)

Temanggung, 27-11-2014 ; 21:20

ARA