Tangis

Posted by Aulia RA , Wednesday, 27 August 2014 10:13

Ketahuilah: menangis itu menghidupkan. Menangis itu kebutuhan. Menangis itu pemecah keresahan, penghapus kesalahan. Penghapus dosa-dosa. Menangis itu cara agar kita merasakan hal-hal penting. Tidak ada seruan yang terlihat mahal selagi hati kita diliputi kesombongan yang kita mahal-mahalkan. Bahkan sesungguhnya ia murah. Lebih murah dari permen seratus tiga. Ia tidak berharga karena merugikan adalah satu-satunya kegunaannya. Tengoklah iblis dan ketidakmauannya untuk menangis.

Bertanyalah: apa yang diperolehnya dari ketidakmengertiannya? Betapa keangkuhannya telah sukses besar menjerembabkannya pada derita abadi yang tidak akan berakhir. Dungu karena tidak mau menangis, contoh pedih dari kesengsaraan atas kematian perasaan.


(dari sebuah buku yang saya lupa judulnya)

Selimut

Posted by Aulia RA , Wednesday, 20 August 2014 22:40

Aku ditemani selimut tua berbau busuk.

Di tengah malam mencengkeram kuat selimut itu,menahan rasa sakit yang kian lama kian membuncah. Dada terasa sempit. Tak kuat lagi menampung oksigen. Tercekat. Membisu. Hanya deru napas tersendat-sendat yang tertangkap indera pendengar. Tubuh ini ingin segera mati. Melepas hidup yang nista. Hidup yang tak sepantasnya dihidupi dan dipertahankan.

Hidup dengan memakan borok-borok idealis yang terus mencumbu kawasan metropolis, tak ada kaum humanis yang peduli akan bobroknya birokrasi. Tempe-tempe haram yang dihalal-halalkan, masuk ke kerongkongan busuk para pelacur sialan. Sementara batu-batu panas yang dimasak bersama air got mendidih menyentuh lambung bernanah bayi-bayi suci yang tak terlindungi.

Dimana letak kemanusiaan di bumi neraka ini? Tak ada tempat halus untuk berpijak. Hanya duri-duri beracun yang menjadi tanahnya. Tidak ada harapan untuk hidup lagi. Mungkin hanya orang-orang hina yang masih sanggup bertahan. Bagaimana tidak? Dimana hal sama-sama busuk bersatu, itu akan memperkuat kebusukan hidup ini. Tak ada air mengalir, namun darah-darah bernanah menjadi sungai yang terus bermuara tiada akhir. Aku selalu heran mengikuti hidup ini. Rupanya hukum rimba samar-samar berlaku. Memang yang kuat yang akan menang. Namun yang kuat itu adalah yang nista. Andai aku bisa membunuh waktu, aku akan menghujamnya dengan samurai. Andai aku bisa membunuh jaman, akan aku hunus dengan parang tertajam.






Bintaro, 2 Juli 2014
15.00 p.m


-Aulia Wijanarko-