Kenapa ada angin?
Agar orang-orang tahu kalau ada udara di sekitarnya.
Tiap detik kita menghirup udara, kadang lupa sedang bernafas.
Tiap detik kita berada dalam udara, lebih sering tidak menyadarinya
Angin memberi kabar bagi para pemikir
Wahai, sungguh ada sesuatu di sekitar kita
Meski tidak terlihat, tidak bisa dipegang
Kenapa ada hujan?
Agar orang-orang paham kalau ada langit di atas sana
Tiap detik kita melintas di bawahnya, lebih sering mengeluh
Tiap detik kita bernaung di bawahnya, lebih sering mengabaikan
Hujan memberi kabar bagi para pujangga
Aduhai, sungguh ada yang menaungi di atas
Meski tidak tahu batasnya, tidak ada wujudnya
Begitulah kehidupan.
Ada banyak pertanda bagi orang yang mau memikirkannya
Kenapa kita sakit hati?
Agar orang-orang paham dia adalah manusia
Tiap saat kita melalui hidup, lebih sering tidak peduli
Tiap saat kita menjalani hidup, mungkin tidak merasa sedang hidup
Sakit hati memberi kabar bagi manusia bahwa kita adalah manusia
Sungguh, tidak ada hewan, binatang yang bisa sakit hati
Apalagi batu, kayu, tanah, tiada pernah sakit hati
Maka berdirilah sejenak, rasakan angin menerpa wajah
Lantas tersenyum, ada udara di sekitar kita
Maka mendongaklah menatap ke atas, tatap bulan gemintang atau langit biru bersaput awan
Lantas mengangguk takjim, ada langit di sana
Maka berhentilah sejenak saat sakit hati itu tiba, rasakan segenap sensasinya
Lantas tertawa kecil atau terkekeh juga boleh, kita adalah manusia
-Darwis Tere Liye-
Posted by
Aulia RA
,
10:51
Bismillahirrohmanirrohiim.
Kadang aku berpikir, mengapa aku dilahirkan seperti ini, mengapa tak seperti dia, dia, ataupun dia. Bukan. Bukan aku tak bersyukur dengan apa yang aku miliki sekarang. Aku hanya berpikir sejenak, merenungi apa yang ada di diriku dan hidupku. Aku percaya, setiap bayi yang dilahirkan di dunia ini pasti ada alasan untuk dilahirkan. Sampai nanti ia tumbuh dewasa dan memliki segala kekurangan dan kelebihan. Sebelumnya sudah tertulis jelas di kitab bernama Lauhul Mahfuz ini. Kapan matinya, siapa jodohnya, hidupnya akan bahagia atau tidak, dan semua takdir sudah Allah tetapkan untuknya. Aku hanya berpikir, apakah takdirku akan sama seperti dia? Apakah nasibku seperti dia yang lainnya, atau dia dia dia yang lainnya lagi? Ah, entahlah. Aku adalah seperti diriku yang sekarang ini. Seorang gadis yang beranjak dewasa. Yang sedang menikmati proses indah bernama pendewasaan.
Dewasa adalah ketika kita sudah merasakan patah hati. Premis ini tidak cukup kuat untuk menyatakan bahwa seseorang itu sudah dewasa saat ia pernah mengalami patah hati. Ya mungkin saja ada sebagian yang mengiyakan. Tapi jika saat patah hati ia justru galau berlarut-larut, memikirkan sesuatu yang tidak jelas, tiba-tiba menjadi cengeng, apakah ia layak disebut dewasa? Lantas, ada seseorang yang bilang, " Wah, berarti aku sudah sangat dewasa dong. Aku sudah berkali-kali patah hati." Tidak. Bukan seperti itu yang dimaksud. Jika patah hati sebagai tolok ukur, lalu orang yang belum pernah patah hati tapi ia mampu menghadapi segala persoalan hidup dengan ketegaran dan keikhlasan yang besar serta tanpa keluhan dalam menghadapinya, apakah ia bisa disebut belum dewasa? Yang bisa menentukan kita sudah dewasa atau belum hanya diri kita sendiri, bersama orang lain sebagai pengamat yang selalu memberi masukan untuk kita.
Don't judge a book by its cover.
Kalimat ini sudah ada sejak dahulu kala. Bahkan (sempat) menjadi kalimat sakti. Namun, adakah seseorang yang benar-benar memaknai kalimat ini dengan benar? Yang mempraktekkan kalimat ini dengan benar pula? Tidak. Lebih tepatnya belum. Orang-orang belum mampu menanggapi kalimat ini seperti seharusnya kalimat ini ditanggapi. Mengapa aku membawa-bawa kalimat ini dalam urusan pendewasaan? Karena ini sangat berpengaruh dalam pendewasaanku.
Mungkin aku memang sebuah buku lusuh yang tak pernah terawat. Yang jika dilihat dari sampulnya saja orang takkan bergairah untuk memungutku dan menjadikanku sebagai buku bacaan. Meski masih baru sekalipun. Dan kini buku itu sudah koyak, sisinya sudah robek, banyak yang sudah dimakan rayap, berkutu, sangat menjijikkan. Tapi orang tak tahu yang sebenarnya dibalik sampul buruk tersebut. Sampul itu rela menjadi lusuh, dimakan kutu, robek, demi menjaga apa yang ada di dalamnya. Menjaga lembar demi lembar yang amat berharga. Menjaga cerita-cerita indah yang mengalun mesra saat diceritakan.
Jika kembali ke realita, orang-orang melihat aku yang seperti ini, menganggap aku begini begitu. Tanpa tau aku yang sebenarnya. Hanya melihat dari "sampul"ku saja. Mungkin hanya beberapa orang saja yang tau aku yang sebenarnya itu bagaimana. Ya, orang-orang terdekatku. Tapi orang tuaku sendiri saja tidak cukup paham denganku. Padahal merekalah orang yang paling dekat denganku. Ah, entahlah. Aku hanya punya keluarga, sahabat dan teman yang (masih) mau menerimaku apa adanya dengan tangan terbuka. Aku hanya ingin menjadi sosok yang sederhana dan apa adanya. Aku tidak mau hidup terlalu ribet. Guruku pernah bilang, "Jangan mempersulit diri sendiri." Ya, aku coba untuk menerapkan kalimat guruku di hidupku yang cukup rumit ini. Sampai akhirnya aku sadar bahwa yang benar-benar dekat denganku hanyalah Allah dan diriku sendiri. Tak ada yang lain.
Kini, tibalah proses pendewasaan itu.
Aku sudah tidak asing lagi dengan benda bernama masalah. Dari ketika aku masih kecil sampai sekarang, masalah yang secara langsung menjadi milikku atau masalah orang lain yang menyeretku ke dalamnya. Aku bisa dibilang sudah cukup tahan banting dengan masalah, dengan cobaan. Masalah yang membuatku berprasangka buruk, akankah aku menjadi anak broken home. Masalah yang membuatku pesimistis, sanggupkah aku bertahan sampai nanti. Dan masalah yang goyahkan keyakinanku, akankah bertemu denganmu, cinta.
Setelah aku menutup hati untuk beberapa waktu yang cukup lama, kini saat aku buka ternyata ada yang hadir. Mungkin sejak beberapa bulan yang lalu. Dan dia yang kini datang untuk menuntut kejelasan dariku. Pun aku. Tapi, ada sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Kejelasan itu sendiri.
Aku hanya tak mau melanggar janjiku. Janji yang sejujurnya belum aku tanda tangani sendiri. Dulu, memang aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak memiliki ikatan dengan seorang ikhwan kecuali dengan cara yang Dia halalkan. Aku tidak boleh melakukannya, sampai aku lulus sekolah menengah atas. Dan kini aku sudah di perguruan tinggi. Otomatis janji itu sudah habis masa berlakunya. Di masa ini aku sudah berniat untuk membuka hati bagi semua orang dan bagi cinta. Tapi tiba-tiba ada sekelebat pikiran, bagaimana jika janjiku aku teruskan saja. Jadi seumur hidupku aku tidak akan pernah merasakan ikatan itu. Aku tak tau akan berakhir bagaimana, aku akan menang atau kalah melawan ego ku. Dan jelas-jelas hati ini tak bisa bohong. Hati ini ingin saling memiliki. Hatiku miliknya dan hatinya milikku.
Sisiku yang lain dengan tegas berbicara, "Uji saja dia! Jika dia benar-benar sayang kepadamu, suruh untuk menunggumu sampai 1 tahun mendatang, bahkan sampai 5 tahun atau 10 tahun lagi. Apakah yang ia rasakan masih sama seperti sekarang. Dia harus rela menunggumu, mengerti dan menghargai keputusanmu. Dan yang paling penting dia menghormatimu sebagai wanita yang ia cintai. Jika setelah itu dia jauh dari kamu, berarti dia bukan jodohmu. Kalau masih dekat, ya.. kamu dapat menyimpulkan sendiri lah. Sudah, tak usah diambil pusing. Bukankah semua sudah ditentukan sama yang diatas?"
Tapi jika tanpa ikatan itu, aku takut dia pergi. Apakah untuk menunjukkan kasih sayang kita harus dengan hal itu? Adakah cara yang lainnya? Aku tak tahu. Aku bingung. Aku hanya percaya dan mengikuti kata hatiku.
Belum lagi ada yang bilang, "Jangan jadi orang ketiga dong, dosa." Hatiku tersentak. Miris mendengarnya. Sungguh, aku bukan macam perempuan begitu. Sama saja aku dengan pelacur-pelacur di pinggir jalan sana. Entah itu berupa candaan belaka atau memang serius, aku tetap sakit mendengarnya. Dan, sungguh dia tidak tau apa yang terjadi sebenarnya.
Cinta, mengapa kau begitu rumit?
Cinta, kau boleh menganggapku kolot, aneh, sok suci dan lainnya. Aku hanya berusaha untuk menjaga diriku sendiri. Aku tak mau terjebak dalam fananya nikmat dunia. Mungkin aku berbeda dengan orang di masa lalumu. Tapi inilah aku, aku yang kau kenal dan yang masih belum kau kenal sekarang.
Ah, cinta memang misteri. Cinta memang abstrak. Yang jelas cinta ada di hati ini, dihatiku. Aku hanya ingin satu sampai mati. Aku tak ingin hatiku aku obral kemana-mana dan jatuh ke orang yang tidak tepat.
Masalah ini, aku harap dapat mendewasakanku. Aku harus bisa melewatinya dengan baik. Tanpa sandungan, tanpa keluhan. Aku mohon, dewasakan aku, cinta.
Bintaro, 30-03-2014
-Aulia Wijanarko-
Cinta
Aku mencintaimu
Karena aku memang mencintaimu
Sayang
Aku menyayangimu
Karena aku memang menyayangimu
Rindu
Aku merindukanmu
Karena aku memang merindukanmu
Diam
Ya, aku diam
Diam-diam aku mencintaimu, menyayangimu, merindukanmu
Pun memikirkanmu
Sederhana
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Api kepada kayu yang menjadikannya abu
Itu bunyi syair
Namun bunyi dari hatiku adalah
Aku sungguh mencintaimu
Dengan sederhana, dalam diam
Dan kau selalu menjadi tokoh dalam mimpiku
Menjadi alasan mengapa aku gila
Menjadi harapan, bahwa kau benar-benar lelaki yang
menciptakanku dari tulang rusukmu
Aku tak mungkin mengungkapkannya
Aku hanya bisa berdoa untukmu
Semoga selamanya
Satu hal yang harus kau tahu
Aku mencintaimu