Aku Hanya Hidup Saat Juli

Posted by Aulia RA , Saturday, 15 February 2014 20:17




“ B.J. Habibie adalah tokoh yang mendongkrak eksistensi Indonesia di dunia. Berkat kerja cerdasnya, pesawatnya dapat mengudara di langit Indonesia. Dan momen itu merupakan momen yang bersejarah buat negara kita.”
Kali ini tokoh yang dibahas di kelas adalah sosok Habibie. Pak Gatra bercerita dengan berapi-api. Bagaimana tidak, beliau sangat kagum dengan mantan presiden yang satu ini. Pun dengan aku. Habibie memang sangat menginspirasi.
“ Tidak usah ditanyakan lagi, Habibie ini sungguh orang hebat. Beliau pergi ke Jerman, cari ilmu disana lalu pulang ke Indonesia menghasilkan karya besar. Anak-anak, bapak tunggu, diantara kalian semua siapa yang akan jadi Habibie selanjutnya.”
Aku tersenyum lebar. Aku akan menjadi Habibie selanjutnya.
***
Namaku Bima Brajadenta, anak laki-laki yang dibesarkan di keluarga sederhana. Dan akan menjadi seorang yang tangguh. Mungkin itu yang diharapkan orang tuaku memberi nama tersebut. Gabungan dari dua tokoh pewayangan yang punya kekuatan tak tertandingi.
Teringat kata-kata pak Gatra waktu itu, aku selalu bersemangat untuk mewujudkan keinginanku. Menjadi Habibie muda Indonesia. Menjadi insinyur cerdas. Bulan ini, pengumuman penerimaan mahasiswa baru di sebuah institut terkemuka di Indonesia akan diumumkan. Aku sudah percaya diri mendaftar disana, mengambil program studi seperti yang dulu Habibie pelajari. Ya, tinggal beberapa langkah lagi aku akan mengikuti jejaknya.
Le, apa kamu yakin mau kuliah disana? Kamu ini memang pintar, tapi kamu tahu kan kalau ibu sama bapak nggak bisa membiayai kamu kuliah disana. Kita ini cuma keluarga petani, mana mungkin bisa bayar uang kuliah sebesar itu. Itu sekolah orang kaya, le.” Ibu memintaku untuk mempertimbangkannya.
“Bu, masalah biaya nggak usah terlalu dipikir. Disana banyak beasiswanya kok. Itu juga sebabnya aku milih kuliah disana. Yang penting aku bisa diterima disana dulu. Ibu tidak usah khawatir. Nanti sambil kuliah aku juga mau kerja. Ibu tenang saja lah.” Aku meyakinkan ibu.
“Tapi Bima…”
“Sudahlahlah bu, doakan Bima saja ya.”
Yang aku tanamkan dalam diriku adalah niat dan percaya. Kampus yang aku tuju itu bukan kampus tempat orang jenius, apalagi kaya. Tapi tempat orang-orang yang mau berjuang. Dan kini aku sedang berjuang. Aku optimistis, tapi ada temanku yang bilang kalau aku terlalu ambisius. Ini adalah sifat yang paling aku hindari, karena dengan ambisius target yang sudah dibangun bisa jadi amburadul. Sangat melenceng dari sasaran.
Hari H pun tiba. Pukul 4 sore aku sudah standby di warnet untuk melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Berbekal restu dan doa orang tua, aku berharap aku bisa diterima. Situs kampus sudah aku buka. Aku ketikkan nama dan nomor pendaftaranku. Bismillahirrohmanirrahiim… Enter.
Nama                          :Bima Brajadenta
Nomor Pendaftaran    : 14500934
Asal Sekolah                : SMA N Grahamukti
Maaf, Anda tidak lulus seleksi masuk Institut Teknologi Tarumanegara.
Seketika aku merasa jiwaku mati. Aku benar-benar tidak percaya. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Aku gagal. Aku tidak bisa menjadi seperti Habibie. Mimpi yang sudah aku bangun runtuh sempurna. Bagai barisan efek domino, satu kotak ambruk kotak yang lain ikut-ikutan ambruk. Persis seperti hidupku.
Ucapan terimakasih yang seharusnya aku ucapkan untuk kedua orang tuaku tidak jadi aku ucapkan. Doa-doa yang telah aku siapkan saat sujud syukur tak jadi aku panjatkan.
“Gimana Le, kamu diterima kan?” Tanya bapak khawatir. Orang tuaku sudah menungguku di ruang tamu. Aku hanya bisa menunduk lesu. Aku tidak siap memberi kabar buruk ini.
“Maafkan Bima, pak, bu.. Bima belum bisa kuliah disana, tidak lulus seleksi. Bima gagal.” Akhirnya aku memberitahu mereka. Kedua orang tuaku saling bertatapan. Kaget mendengarnya. Bagaimana bisa anaknya yang tergolong cerdas di kelas ini tidak bisa lulus seleksi masuk kampus tersebut. Aku langsung masuk ke kamar. Enggan mengerjakan apa-apa. Mendengar kabar teman-teman yang lulus membuatku lega, setidaknya mereka tidak seperti aku.
Aku laki-laki. Aku tidak boleh menangis karena kegagalan ini. Aku harus mencerminkan namaku. Tetap menjadi laki-laki kuat meski kesedihan di pelupuk mata. Aku masih punya orang tua yang harus aku bahagiakan. Aku tidak boleh berhenti berjuang disini. Hari ini aku memutuskan untuk vakum sekolah setahun dan mendaftar ke kampus itu tahun depan. Kedua orang tuaku tidak setuju dengan keputusanku. Tapi aku bersikeras.
“Tolonglah pak, aku janji tahun depan aku pasti lulus.” Aku memohon pada bapak. Rasa-rasanya bapak sudah tidak  mau mengurusiku, mau sekolah atau tidak. Beliau marah besar. Keputusanku terlalu beresiko. Tapi aku berani mengambil resikonya.
***
Rencana B aku bangun. Pinjam buku-buku teman. Setiap hari belajar namun tetap diselingi dengan membantu orang tuaku. Ya, agar mereka mau meridhoi langkah-langkahku. Saat istirahat di sawah, aku kerjakan soal-soal fisika dengan semangat. Setelah sarapan pagi, matematika jadi hidangan penutup. Begitu aku lakukan setiap harinya.
Juli tahun ini akan menjadi Juli yang berbeda. Aku akan membawa kabar gembira bahwa aku berhasil masuk ke kampus itu. Ujian masuk sudah aku tempuh. Tinggal melihat hasilnya lagi. Seperti tahun lalu, aku bergegas ke warnet untuk melihat pengumumannya. Dengan mantap aku ketikkan nama dan nomor pendaftaranku lalu klik enter. Ku pejamkan mata.
Saat mataku terbuka kembali…
Maaf, Anda tidak lulus seleksi masuk Institut Teknologi Tarumanegara.
Aku ulangi mengetik nama dan nomor pendaftaran, barangkali aku salah ketik. Klik enter.
Maaf, Anda tidak lulus seleksi masuk Institut Teknologi Tarumanegara.
Tuhan sedang bergurau denganku rupanya. Dia tega mempermainkanku. Dia bilang dia akan memenuhi keinginanku jika aku berusaha dan berdoa. Tapi apa kenyataannya sekarang. Dia berbohong.
***
Setelah 2 kali gagal, aku belum kapok juga. Tahun depannya aku masih ikut seleksi. Dan kawan, aku kembali gagal. Aku benar-benar seperti pengangguran gara-gara 3 tahun tidak kuliah. Dan aku tidak pernah menyadarinya bahwa aku terlalu memaksakan diri.
Tapi, karena kegagalan-kegagalan itu aku benar-benar merasakan hidup. Hidup yang sesungguhnya. Aku pernah mendengar pepatah lama bahwa yang membuat kita menikmati hidup adalah berjuang. Aku berjuang lebih dibanding teman-temanku. Aku merasa menjadi orang yang beruntung. Dipilih Tuhan untuk menikmati sari pati hidup. Di Juli, puncak-puncaknya aku hidup karena aku dapat kegagalan di bulan ini.
Tentang orang tuaku, mereka sudah tidak peduli dengan diriku. Aku memang sangat mengecewakan mereka. Aku pun memilih merantau meninggalkan kampung. Mencoba mencari pekerjaan di perantauan. Aku memang tidak akan pernah menjadi seperti Habibie. Tapi akan hidup dengan menjadi diriku sendiri. Kini, aku tidak hanya akan hidup di Juli saja. Setiap hari, bulan dan tahun aku selalu hidup. Karena aku selalu berjuang.
-selesai-



-Aulia Wijanarko-