Aku rasa semesta
begitu jahat kepadaku. Bagaimana tidak? Saking luasnya, dia tak memberiku
setapak yang kujejaki untuk menemukanmu. Ya, menemukanmu, menemukan dirimu yang
sesungguhnya. Semesta begitu besarnya sampai-sampai aku tak banyak tahu
tentangnya. Pun dirimu. Terkadang aku merasa asing denganmu. Lebih tepatnya
terasingkan barangkali. Tentang siapa dirimu, apa yang sudah kamu lalui, siapa
yang pernah menyenangkan hatimu, siapa saja yang pernah kamu bahagiakan, apa
yang tersembunyi dalam hatimu, dan tentang-tentang yang lainnya. Aku tak banyak
tahu. Aku ibarat noktah kecil yang tak berarti apa-apa. Mengganggumu. Aku tak
tahu, aku tak tahu banyak tentangmu. Kamu tersembunyi dalam persembunyianmu. Aku
takut.
Tanpa aku
mengatakan lebih dulu, kamu pasti tahu bahwa masa lalumu sangat menggangguku. Bukan
begitu? Apa kamu malah tidak tahu? Baiklah, akan aku jelaskan. Semua orang
punya masa lalunya masing-masing, aku tahu itu. Kamu. Aku. Masa laluku tak
lebih baik dari siapapun, aku juga membencinya. Tapi masa lalumu, aku lebih
membencinya karena dia mengganggu. Aku juga heran, mengapa aku tak mudah
menerimanya, sulit memaafkannya, barangkali karena aku sudah terlalu dan
terlanjur sakit hati, ya? Haha, itu bisa saja. Dari dulu aku tak pernah bisa
berdamai dengan ini. Maafkan aku.
Laiknya luka yang
disiram air garam, inilah kondisi hatiku saat ini, jika kamu ingin tahu. Satu kesalahan
dampaknya bisa sebesar ini ternyata. Hilangnya rasa percaya, makin seringnya
muncul keraguan, makin seringnya aku menangis sendirian, dan kebencian yang tak
kunjung hilang. Aku tidak nyaman dengan itu semua. Tapi kamu ingat, kan, siapa
dalang dibaliknya? Haha. Ironi.
Aku bisa apa. Jika
tiba-tiba kamu merindukannya, aku tahu, rasa kangen pasti pernah muncul. Atau sekarang
sedang muncul, ya? Jika kamu ternyata lebih peduli padanya dibandingkan aku. Diam-diam
kamu selalu menunggu kabarnya, yang mungkin kamu dapatkan dari orang lain. Mendapatkan
kabarnya melalui perantara. Mungkin kamu hanya ingin memastikan bahwa dia
sekarang baik-baik saja, sekarang dia sudah bahagia, terlihat dari senyumannya.
Senyuman yang pernah membuatmu senyum sendiri, jatuh cinta. Ah, aku bisa apa. Hanya
mengutuki takdir bahwa itu tak adil buatku. Aku menangis tanpa suara dan air
mata. Menyakitkan sekali dagelan ini.
Dear kamu,
maafkan aku sekali lagi. Aku tak seperti yang kamu kira. Kamu juga tak tahu
sepenuhnya tentang diriku. Banyak yang tersembunyi dariku. Tapi apakah kamu
penasaran dengan yang tersembunyi itu? Seperti aku yang selalu penasaran dengan
segala ketersembunyianmu sampai-sampai aku sibuk mencari tahu sendiri dan
berujung pada sakit hati yang makin liar.
Satu hal yang
harus kamu tahu. Saat ini aku sedang terluka. Lagi dan lagi.
Mau kamu
siramkan lagi air garam itu ke lukaku?
Terimakasih, kamu :)
Yogyakarta, 17 Januari 2016 | 6:46
Aulia RA
Tentang Permainan Kesukaanmu, Apakah Itu Masih Aku?
Posted by Aulia RA , Monday, 17 August 2015 00:37
Aku menulis ini karena terinspirasi dari kalimat seseorang.
Mainan favoritmu, apa masih aku?
Haha, lucu memang. Ternyata aku begitu menikmati permainan yang kamu buat. Awalnya aku ragu, tapi lama-lama aku mau ikut bermain. Lama dan lama sekali aku makin terhanyut. Tidak sadar diri. Sampai-sampai lupa waktu aku telah bermain terlalu lama. Lupa diri bahkan. Asik, iya asik. Senang, ya senang memang. Aku sangat sangat sangat menikmati. Aku ibarat anak kecil yang kamu iming-imingi uang lima ribu agar aku terus melanjutkan permainan itu. Aku sudah ketagihan barangkali. Rasanya susah untuk berhenti. Aku belum sadar, aku masih di arenamu.
Tiba-tiba aku mengatup. Menutup. Rapat.
Aku kaget, aku mengutuki waktu. Pun diriku. Bodoh sekali diriku. Aku baru sadar, saat aku asyik bermain mengikuti permainanmu, kamu sebenarnya juga sedang bermain di arena yang lebih luas. Arena keserakahanmu. Saat kamu sudah puas, kamu bawa semua keuntungan. Aku hanya mendapat rugi. Aku telah dibodohi. Ya, tentu saja, olehmu. Siapa lagi? Aku cukup bersyukur telah menyenangkanmu lewat permainan gila ini. Walau disisi lain aku menyesal. Aku sudah bilang, aku akan mengorbankan sesuatu asal kamu bahagia. Tapi mengapa pengorbanan itu dilukai dengan penyesalan dan kekecewaan. Apakah pengorbananku belum cukup? Apakah kamu belum puas mempermainkanku? Atau apakah permainan ini belum selesai dan kamu sedang menyusun babak-babak barunya?
Aku tahu kamu tidak menghargaiku, tidak menghormatiku, kamu menyepelekanku, kamu merugikan diriku, kamu membohongiku. Kamu sebenernya hanya hidup sendiri dan kehadiranku, yah, sebagai selingan saja. Numpang lewat istilahnya.
Tidak, aku tidak akan balas dendam atas semua perbuatanmu. Aku hanya bisa mendoakanmu yang terbaik saja. Karena perkataan tidak mampu membuka hati nuranimu. Biar kutitipkan kataku pada Tuhan, biar dia yang membisikkan kepadamu. Aamiin.
Pengorbanan apalagi yang harus aku beri kepadamu, "laki-laki"ku?
Tentang permainan kesukaanmu, apakah itu masih aku?
Yogyakarta, 17 Agustus 2015 | 00:35
Aulia RA | ririsaulia.tumblr.com
Waktu Aku Sama Kamu
Posted by Aulia RA , Thursday, 6 August 2015 00:40
Aku pernah lancang bilang ke kamu, "Aku nggak bahagia sama kamu!" Maafkan aku, aku sangat tidak berterimakasih ke kamu. Aku jahat. Aku egois. Sebenarnya aku belum mengerti benar definisi kebahagiaan itu seperti apa. Apakah bahagia itu jika aku punya banyak uang? Punya banyak barang mewah? Apakah ketika aku selalu mendapat hadiah dari kamu? Ucapan selamat tidur dari kamu? Tidak. Bahagia bukan itu. Sekarang aku paham, bahagia itu saat aku sama kamu. Cukup kehadiranmu saja, aku sudah sangat senang. Waktu aku sama kamu, aku lupa sejenak dengan segala permasalahan yang menimpaku. Aku senang mendengarkan ceritamu, aku senang saat kamu meledekku "ebrot" (walau sedikit kesal), aku senang memasak nasi goreng bersamamu, aku senang melihatmu menghabiskan makananku (aku sering tidak habis saat makan), aku senang melihatmu tertidur pulas apalagi sambil ngorok dan ngiler, aku senang melihat wajahmu ketika bangun tidur; wajahmu lucu seperti anak kecil yang kebingungan, dan aku senang menjadi perempuan yang kamu titipkan hatimu padanya. Ya, aku bahagia. Aku bahagia waktu sama kamu. Lewat hal-hal kecil dan sederhana, aku bahagia.
Aku jadi teringat dengan masa-masa dulu. Masa perkenalan kita. Kita dipertemukan oleh sebuah kampus. Dan ternyata kita berada di kelas yang sama. Aku benar-benar tidak menyangka. Sebuah kelas yg mayoritas anak laki-laki, ternyata ada satu lelaki yang nyantol di hatiku. Prosesnya terbilang cukup lama. Tidak langsung begitu saja. Sejak hari pertama masuk kuliah sampai berbulan-bulan sesudahnya, aku tidak merasakan apapun padamu. Aku yang begitu cuek, menutup hati, dan agak membencimu. Bukan membenci ya, lebih tepatnya kesal, karena sebuah kejadian di awal perkuliahan.
Temanku bercerita padaku bahwa dia menanyakan soal pacarmu dan kamu jawab aku. "Pacarmu siapa?" temanku bertanya.
"Tuh, anak Temanggung," jawabmu.
Satu-satunya anak Temanggung di kelas itu adalah aku. Atau mungkin aku dan temanku yang "kegeeran". Ah, intinya temanku itu menggodaku. "Ciye ciye, pacarnya anak Temanggung.." godanya.
Saat itu, aku melihatmu sedang mengumpulkan KTP anak laki-laki, tidak tahu untuk apa. Lalu tiba-tiba kamu datang menghampiri aku dan temanku. "Aul, mana KTP-mu?" tanyamu. Batinku, buat apa tanya KTP, bukannya yang dikumpul hanya anak laki-laki. "Nggak ada, buat apa?" aku balik bertanya. "Mau aku bawa ke KUA, buat daftarin kita, hehe," jawabmu bercanda. "Idiiih, gombal iyuuh!" batinku dalam hati. Aku hanua menjawab "Aiiih" dan kamu hanya tertawa kecil. Temanku langsung menjerit menggoda, "Aaaa, dibawa ke KUA, daftarin nikahan!"
"Tuh, anak Temanggung," jawabmu.
Satu-satunya anak Temanggung di kelas itu adalah aku. Atau mungkin aku dan temanku yang "kegeeran". Ah, intinya temanku itu menggodaku. "Ciye ciye, pacarnya anak Temanggung.." godanya.
Saat itu, aku melihatmu sedang mengumpulkan KTP anak laki-laki, tidak tahu untuk apa. Lalu tiba-tiba kamu datang menghampiri aku dan temanku. "Aul, mana KTP-mu?" tanyamu. Batinku, buat apa tanya KTP, bukannya yang dikumpul hanya anak laki-laki. "Nggak ada, buat apa?" aku balik bertanya. "Mau aku bawa ke KUA, buat daftarin kita, hehe," jawabmu bercanda. "Idiiih, gombal iyuuh!" batinku dalam hati. Aku hanua menjawab "Aiiih" dan kamu hanya tertawa kecil. Temanku langsung menjerit menggoda, "Aaaa, dibawa ke KUA, daftarin nikahan!"
Apakah kamu ingat dengan hal itu? Pasti kamu tidak ingat. Dan aku, entah kenapa bisa mengingatnya padahal saat itu aku belum ada rasa apa-apa sama kamu. Masih ada hal-hal kecil bahkan sepele yang aku ingat tentangmu, di awal kuliah tentunya.
Beberapa bulan berlalu, lalu ada kegiatan kampus bernama "Capacity Building". Dimana kita harus menginap selama empat hari di perkemahan, tidur di dalam tenda, berkutat dengan lumpur dan kegiatan fisik lainnya yang dipandu oleh para Kopassus. Karena kegiatan itu, aku merasa diperhatikan olehmu. Kita yang sering berkirim pesan singkat. Kamu yang selalu berpesan agar aku jaga kesehatan, agar aku tidak pingsan. Ya, kamu sudah tahu aku mempunyai fisik yang lemah. Dan sebelum kita berangkat, ternyata kamu mengirimkan sebuah sms yang isinya juga sama. Menyuruhku jaga kesehatan, jika tidak kuat jangan dipaksakan agar aku tidak pingsan. Tapi pesan itu aku buka saat kita sudah pulang dari perkemahan. Aku sedikit kecewa, aku terlalu cepat berangkat jadinya tidak membaca sms-mu dulu. Di kegiatan itu kita tidak boleh membawa handphone.
Saat kita semua berkumpul di lapangan sebelum berangkat ke perkemahan, aku mencarimu tapi aku tidak menemukanmu. Padahal kita ini satu kelas. Berbaris juga satu kelas. Tapi aku tidak melihat sosokmu. Aku resah. Sampai akhirnya kita semua berpencar mencari kelompok masing-masing. Selama kegiatan di perkemahan pun aku tetap mencarimu, tapi tetap saja aku tidak menemukanmu. Hingga akhirnya kita kembali ke kampus. Aku buru-buru turun dari bis, aku sudah jijik dengan tubuhku, ingin segera mandi. Empat hari di perkemahan aku tidak mandi. Tapi saat berjalan di dekat air mancur, aku melihatmu, kita berpapasan, aku sangat senang. Kamu mengomentari diriku, "Buluk banget sih.." Hanya aku jawab dengan "hehe" dan aku segera bilang "duluan ya". Aku pulang menuju kos dengan jalan cepat sambil menahan rasa senang tentunya.
Sejak saat itu mulai tumbuh rasa simpati. Kita makin sering berkomunikasi, via sms tentunya. Tapi di kelas kita saling diam. Kita hanya sebatas teman kelas yang jarang mengobrol, bahkan tidak pernah. Aku malah lebih dekat dengan teman lelaki yang lain.
Akhir 2013, aku mendadak menjauh darimu, menjadi sangat cuek padamu. Aku mengetahui satu hal tentangmu. Tidak, aku tidak boleh menjadikan rasa simpati ini menjadi rasa yang lebih dalam. Kecewa? Iya. Bahkan aku sampai menangis. Di setiap aku sedang nyaman dengan seseorang, ada saja hal-hal yang membuatku berhenti sampai disitu. Tidak boleh melanjutkan rasa. Aku bersalah jika kuteruskan. Lebih baik aku diam, aku mengalah. Tidak usah berharap terlalu tinggi. Nanti jatuh, sakit.
Menjadi dingin, cuek, dan tidak peduli. Menanggapimu seadanya. Singkat-singkat saja. Maaf, itu juga untuk kebaikan kita.
Tanggal 15 Februari 2014. Entah ada angin apa, sejak hari itu, semua berubah. Berawal saat kamu menanyakan tugas kuliah. Kita asik berkirim pesan sampai larut malam. Aku jadi tahu tentang dirimu yang sebenarnya, sedangkan aku masih menutupi semuanya. Aku takut jika memiliki perasaan yang "sama". Aku membantah hatiku sendiri. Aku selalu bilang tidak. Aku tidak boleh menumbuhkan perasaan ini, sangat tidak boleh.
Kamu yang sejak hari itu sering mengirimiku sebuah tulisan yang membuatku kaget, takut, senang, ah sepertinya semua rasa bercampur jadi satu. Aku berpikir, jadi selama ini kamu memperhatikanku? Kamu tahu detail tentangku, tentang kebiasaan yang aku lakukan di kelas. Seperti memutar-mutar bolpoin dengan jariku atau membenarkan kerudungku yang kadang maju ke depan. Aku tidak menyangka. Sejak hari itu pula, kita selalu tahu kabar masing-masing dari pagi sampai malam, dari bangun tidur sampai mau memejam mata. Komunikasi kita tak pernah putus. Ya, aku nyaman dengan keadaan itu, aku senang, aku bahagia, aku jatuh cinta.
Kamu terlalu pintar membuatku jatuh cinta padamu. Aku sudah tidak secuek dan sedingin dulu.
Aku kaget ketika kamu tiba-tiba bilang sudah ada di depan kost-ku. Aku degdegan, aku bingung. Aku mondar-mandir di dalam kamar, mengatur nafas. Aku segera turun untuk menemuimu. Ternyata kamu memang benar ada disana, sedang asik menghabiskan susu kotak sambil menungguku. Ah sosok itu. Aku makin dag dig dug.
"Lama banget.." katamu.
"Hehe." Aku bingung mau menjawab apa.
"Nih buat kamu." Hah? Kamu memberiku bahan untuk ujian besok. Kamu tahu aku belum punya bahan yang itu, kamu memfotokopikan dan memberikannya padaku tanpa aku meminta. Masih hangat pula bekas fotokopiannya. Oh, Tuhan, perhatian sekali dia.
"Ya ampun kamu baik banget." Aku sangat senang. "Bentar ya aku ambil duit dulu buat ganti."
"Eh gausah gausah. Udah itu buat kamu. Dipelajari ya.."
"Ini serius?"
"Iya.."
"Makasih banget ya. Makasih. Baik banget deh.." Aku sungguh sangat senang.
"Yaudah, aku pulang dulu ya. Dipelajari beneran lho itu."
"Iya iya.. Makasih ya. Iih jam baru ciyee.." Mataku tertuju pada jam ditangannya, jam yang baru-baru ini aku lihat, berbeda dari jamnnya yang sebelumnya.
"Hehe. Udah lama ini kok.. Duluan ya.."
"Iya hati-hati."
"Hehe." Aku bingung mau menjawab apa.
"Nih buat kamu." Hah? Kamu memberiku bahan untuk ujian besok. Kamu tahu aku belum punya bahan yang itu, kamu memfotokopikan dan memberikannya padaku tanpa aku meminta. Masih hangat pula bekas fotokopiannya. Oh, Tuhan, perhatian sekali dia.
"Ya ampun kamu baik banget." Aku sangat senang. "Bentar ya aku ambil duit dulu buat ganti."
"Eh gausah gausah. Udah itu buat kamu. Dipelajari ya.."
"Ini serius?"
"Iya.."
"Makasih banget ya. Makasih. Baik banget deh.." Aku sungguh sangat senang.
"Yaudah, aku pulang dulu ya. Dipelajari beneran lho itu."
"Iya iya.. Makasih ya. Iih jam baru ciyee.." Mataku tertuju pada jam ditangannya, jam yang baru-baru ini aku lihat, berbeda dari jamnnya yang sebelumnya.
"Hehe. Udah lama ini kok.. Duluan ya.."
"Iya hati-hati."
Kamu hanya tersenyum dan berbalik. Memasukkan tanganmu ke saku jaket hitammu dan berjalan pulang. Ah, senyum itu, yang memunculkan lesung di kedua pipimu. Manis sekali.
Liburan semester satu. Tiada hari tanpa ada kabar darimu. Saling berkirim foto masa kecil, bercerita kegiatan di setiap harinya. Aku makin nyaman denganmu. Perasaan ini makin lama makin kuat. Jatuh cinta, aku sudah lama tidak merasakannya. Dan ketika aku merasakan kembali, aku merasakannya denganmu.
Liburan usai, waktunya kembali ke perantauan, kembali kuliah. Aku tidak sabar bertemu denganmu. Hari senin pagi di ruang komputer, aku tidak melihatmu, rupanya aku datang lebih dulu daripada kamu. Aku menghidupkan komputer dan asik mengobrol dengan teman-teman. Tak lama, kamu datang. Kamu duduk sebaris denganku terpisah beberapa meja. Lalu kamu menghampiriku, menanyakan keadaan komputer di sebelahku. Kamu mengeceknya. Di posisi sedekat itu, jantungku berdetak sangat kencang. Saat mata bertemu mata, ada hal yang tanpa dibicarakan pun kita sudah tahu. Bahwa kita ingin saling memiliki dan melengkapi. Kita saling jatuh hati.
Kita terus berkomunikasi, chatting sampai larut malam, membicarakan hal-hal yang tidak penting. Dan membicarakan hati kita masing-masing. Kita sudah tahu perasaan kita tapi aku yang masih ragu.
23 Maret 2014, pagi hari aku sudah mendapat chat panjang darimu yang berujung pada "Siapkah kita menjadi sepasang kekasih?". Selesai membaca, air mataku jatuh. Ya, aku menangis. Aku bingung, aku ragu. Aku harus maju atau mundur. Harus iya atau tidak. Aku memilih diam. Tak mengindahkan pertanyaanmu. Membiarkan semua jadi gantung. Membiarkan kita tetap pada kondisi seperti kemarin dan kemarin. Di masa ini pula aku pernah berbohong padamu, maafkan aku.
Akhirnya, bulan April 2014 hari kelima, Sabtu waktu Maghrib. Ketidakjelasan kita berakhir. Aku yang sedang asyik menikmati segelas jus mangga di kamar setelah lelah berbelanja, mendadak kaget dengan pesan yang kamu kirim. Kamu bilang kamu sudah di depan kos ku. Sebelumnya saat aku masih berbelanja, kamu sering tanya aku sudah selesai belanja atau belum, sudah sampai kost atau belum. Ternyata kamu mau datang, tapi untuk apa, menjelang maghrib begini pula. Aku segera menemuimu, aku masih berpakaian seperti saat aku belanja tadi, belum sempat beres-beres apalagi ganti baju.
Kamu tersenyum, lalu berkomentar tentang pakaianku. "Rapi banget.."
"Hehe, iya.. Kan aku barusan keluar, belanja, jadi ya kayak gini." Jelasku padamu.
"Aku mau nyelesein pembicaraan kita yang belum selesai."
Apa maksudnya kamu berbicara seperti ini, aku takut, jantungku bergemuruh, aku tak tenang. Aku menundukkan kepala. Aku hanya menjawab, "Ya.."
Adzan maghrib berkumandang, kita diam berdiri di samping pintu pagar. Aku masih menundukkan kepala, sesekali melihatmu yang terlihat gelisah, tapi matamu tegas.
Mendengar suara adzan aku jadi lebih tenang.
Lalu kamu lanjutkan lagi pembicaraanmu dengan suara tenang, yang justru membuatku takut untuk menatapmu, lagi-lagi aku hanya menundukkan kepala.
"Hehe, iya.. Kan aku barusan keluar, belanja, jadi ya kayak gini." Jelasku padamu.
"Aku mau nyelesein pembicaraan kita yang belum selesai."
Apa maksudnya kamu berbicara seperti ini, aku takut, jantungku bergemuruh, aku tak tenang. Aku menundukkan kepala. Aku hanya menjawab, "Ya.."
Adzan maghrib berkumandang, kita diam berdiri di samping pintu pagar. Aku masih menundukkan kepala, sesekali melihatmu yang terlihat gelisah, tapi matamu tegas.
Mendengar suara adzan aku jadi lebih tenang.
Lalu kamu lanjutkan lagi pembicaraanmu dengan suara tenang, yang justru membuatku takut untuk menatapmu, lagi-lagi aku hanya menundukkan kepala.
Dan pada akhirnya aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Rasanya susah untuk bicara. Aku bahagia, ya bahagia karena bisa memulai janji untuk selamanya denganmu. Tak perlu penjelasan lagi bahwa kita sudah jelas malam itu. Entah apa hal-hal yang akan kita hadapi bersama, yang kulihat hanya hal-hal baik saat itu.
Kita sudah ciptakan banyak cerita. Sembunyi-sembunyi dari temen sekelas, aku yang takut tidak nyaman saat di "cie" kan oleh teman-teman. Dan segala alasan yang aku tak ingin banyak orang tahu tentang kita. Berbeda denganmu yang sudah lebih dewasa dari aku, untuk apa kabar bahagia ditutupi. Ah, tapi aku juga malu saat itu.
Aku jadi teringat saat kita "taruhan" saat nonton pertandingan sepakbola di televisi. Tim yang aku dukung menang, begitu sebaliknya. Itu tandanya kamu harus membelikanku es krim. Ya, kamu menepatinya. Menjelang maghrib sepulang aku mengerjakan tugas di kos teman, kamu mengantarku pulang. Saat aku hendak masuk ke dalam kos, kamu mengeluarkan sesuatu dari tas mu. Es krim. Ya, lengkap dengan dua sendok kecil. Ternyata itu alasanmu membawa tas, untuk menyimpan es krimnya sebelum kamu beri kepadaku. Awalnya aku menolak, aku tidak mau menerima barang hasil taruhan karena haram. Aku tidak serius soal taruhan itu, hanya bercanda. Tapi kamu bilang bahwa kamu memang berniat membelikannya untukku, bukan sebagai hukuman kalah taruhan. Seharusnya kita bisa menikmati es krim itu berdua, tapi sudah maghrib ternyata, aku segera masuk dan kamu pun pulang.
Semua cerita tentang kita, satu pun, aku tidak bisa melupakannya. Terlebih saat kamu begitu mendukungku saat aku berada di titik terjatuhku. Tanpamu aku tidak bisa bangkit lagi seperti sekarang. Pertolonganmu, pengorbananmu, dan semua tentangmu begitu berarti dan berharga.
Tapi jika sudah terucap perpisahan, semuanya harus berhenti. Aku masih ragu. Tapi aku sudah tidak tahan.
Kini pun aku harus selalu menghadapi diammu. Aku hanya menginginkan kejelasan seperti saat dulu kamu menginginkannya dariku.
Kini pun aku harus selalu menghadapi diammu. Aku hanya menginginkan kejelasan seperti saat dulu kamu menginginkannya dariku.
Perubahan pasti ada, perpisahan pasti terjadi.
Sejujurnya, sungguh aku tidak ingin. Sangat tidak mau.
Sejujurnya, sungguh aku tidak ingin. Sangat tidak mau.
Aku hanya perempuan yang mencintai laki-laki yang terus saja diam. Aku ingin kita selalu baik, sebagai apapun itu.
Sekali lagi, aku masih mencintaimu. Sama seperti dulu. Bahkan sekarang sudah lebih dari yang dulu.
Yogyakarta, 15 Agustus 2015 | 12:29
Aulia RA
Izinkan Aku, Cinta
Posted by Aulia RA , Sunday, 26 July 2015 22:39
Laki-lakiku yang tercinta,
Kamu adalah kado spesial dari Tuhan
Kejutan tak terduga dariNya
Maka, izinkan aku menjadi hari ulang tahunmu
Dimana kamu selalu mengingatku
Kamu selalu membisikkan doa terbaik
Dan aku akan menjadi suatu permulaan baru yang takkan pernah berakhir
Yang akan selalu memberikanmu kado dan kejutan manis
Kamu adalah kado spesial dari Tuhan
Kejutan tak terduga dariNya
Maka, izinkan aku menjadi hari ulang tahunmu
Dimana kamu selalu mengingatku
Kamu selalu membisikkan doa terbaik
Dan aku akan menjadi suatu permulaan baru yang takkan pernah berakhir
Yang akan selalu memberikanmu kado dan kejutan manis
Laki-lakiku yang tercinta,
Bahagiamu adalah bahagiaku
Senyummu adalah bahagiaku
Air matamu adalah lukaku
Maka, izinkan aku menjadi ibu peri bagimu
Agar aku bisa mengabulkan keinginanmu,
Menghapus semua laramu,
Menghiburmu,
Membuat kamu tersenyum selalu
Sehingga kita hanya merasakan satu hal,
Bahagia
Bahagiamu adalah bahagiaku
Senyummu adalah bahagiaku
Air matamu adalah lukaku
Maka, izinkan aku menjadi ibu peri bagimu
Agar aku bisa mengabulkan keinginanmu,
Menghapus semua laramu,
Menghiburmu,
Membuat kamu tersenyum selalu
Sehingga kita hanya merasakan satu hal,
Bahagia
Laki-lakiku yang tercinta,
Baktimu pada yang melahirkanmu sangatlah besar
Hormatmu pada yang menafkahimu sangatlah besar pula
Dan sayangmu pada yang sedarah tak akan pernah putus
Maka, izinkan aku mendampingimu
Bukan merebutmu dari keluargamu
Baktimu pada yang melahirkanmu sangatlah besar
Hormatmu pada yang menafkahimu sangatlah besar pula
Dan sayangmu pada yang sedarah tak akan pernah putus
Maka, izinkan aku mendampingimu
Bukan merebutmu dari keluargamu
Laki-lakiku yang tercinta,
Mimpimu belum terwujud
Perjuanganmu belum berakhir
Pun kehidupan masih berjalan
Maka, izinkan aku menjadi anak tangga bagimu
Yang membawamu menuju puncak kesuksesanmu
Membawamu ke depan pintunya
Dan menjadi kunci untuk membuka pintunya
Lalu, tinggal kamu nikmati hasil kerja kerasmu
Mimpimu belum terwujud
Perjuanganmu belum berakhir
Pun kehidupan masih berjalan
Maka, izinkan aku menjadi anak tangga bagimu
Yang membawamu menuju puncak kesuksesanmu
Membawamu ke depan pintunya
Dan menjadi kunci untuk membuka pintunya
Lalu, tinggal kamu nikmati hasil kerja kerasmu
Laki-lakiku yang tercinta,
Aku tahu kamu sangat lelah
Hari-harimu kadang membuatmu penat
Kesibukanmu, pekerjaanmu
Maka, izinkan aku menjadi rumah bagimu
Menjadi tempatmu pulang
Menghilangkan segala penat dan lelahmu
Melupakan sejenak tentang kesibukan dan pekerjaanmu
Aku menjadi satu-satunya tangan tempatmu menyisipkan jari
Satu-satunya kening untuk kecupmu
Lalu, kamu benar-benar istirahat di rumah itu
Kamu mendapat kehangatan di rumah itu
Tapi jangan lupa, kamu adalah pelindung utama rumah itu
Aku tahu kamu sangat lelah
Hari-harimu kadang membuatmu penat
Kesibukanmu, pekerjaanmu
Maka, izinkan aku menjadi rumah bagimu
Menjadi tempatmu pulang
Menghilangkan segala penat dan lelahmu
Melupakan sejenak tentang kesibukan dan pekerjaanmu
Aku menjadi satu-satunya tangan tempatmu menyisipkan jari
Satu-satunya kening untuk kecupmu
Lalu, kamu benar-benar istirahat di rumah itu
Kamu mendapat kehangatan di rumah itu
Tapi jangan lupa, kamu adalah pelindung utama rumah itu
Laki-lakiku yang tercinta,
Izinkan aku menjadi surga bagimu
Izinkan aku menjadi surga bagimu
Parakan, 26 Juli 2015
- Aulia RA
Note: Tulisan dari tumblr saya (ririsaulia.tumblr.com)
Maafkan Aku, Teman
Posted by Aulia RA , Sunday, 24 May 2015 09:23
Aku berbeda. Aku sekarang menjadi pribadi yang berbeda. Efek dari menganggur barangkali. Ah, intinya aku sudah berbeda.
Aku yang labil, tidak jelas, gamang, tak bisa mengambil keputusan yang jelas, dan aku yang merepotkan banyak orang.
Teman, setiap hari yang kulihat cuma dinding di ruangan 3x3 meter ini. Dan isinya yang berantakan. Buku-buku yang berserakan dimana-mana. Aku seperti hidup di dalam kandang, hanya sesekali keluar dari kandangku. Namun, tempat ini yang menjadi saksi perjuangan dan kesedihanku. Bagaimana tidak, aku setiap hari menangis disini. Bantal basah karena air mata, mata sembab karena air mata, sampai-sampai mataku perih karena keseringan menangis.
Aku bosan disini. Sangat sangat bosan. Jenuh yang menumpuk membuatku emosi. Tapi aku hanya bisa menahan emosi itu. Setiap hari melakukan rutinitas yang membosankan, disuruh ini-itu, dan kadang dimarahi. Aku pernah berpikir, bagaimana jika aku minta sakit keras sama Tuhan biar aku diperlakukan baik.
Aku tidak punya teman. Teman-temanku di perantauan masing-masing dengan kesibukan dan kehidupan masing-masing pula. Aku merasa sendirian. Aku menjaga jarak dengan orang yang baru aku kenal. Aku menutup diri. Aku takut ditanyai macam-macam. Teman-temanku hidup di telepon seluler ini. Aku hanya bisa menjumpai mereka lewat teks pesan singkat atau e-mail. Aku sangat butuh mereka. Aku ingin mereka bisa disampingku, menemaniku di masa sulitku. Tapi mereka sudah mempunyai kehidupan sendiri. Aku ingin menceritakan macam-macam: apa yang sedang aku rasakan, apa yang aku pikirkan, apa yang mengganggu pikiranku, kekecewaanku, kegelisahanku, dan masih banyak lagi. Mungkin aku salah menyampaikan, caraku yang salah. Dan untuk temanku yang sudah terlalu sering menerima curhat-curhatku, aku minta maaf, mungkin kamu sangat bosan dan sudah enggan untuk menanggapi. Semua kembali ke akar paragraf ini, aku ingin menceritakan dan ingin didengar. Aku tidak bisa memendam masalahku sendiri, aku butuh orang lain untuk berbagi, agar aku mendapat saran-saran yang baik dari kamu, Temanku. Maaf jika selama ini aku menganggumu. Aku butuh teman dan ingin diperhatikan. Aku kesepian.
Saat melihat fotomu bersama teman lain, aku cemburu. Aku takut dilupakan. Karena aku tidak mudah mendapatkan seorang teman.
Aku jijik saat melihat wajahku di cermin. Wajah yang sudah lebih tua dari umur aslinya. Kantung mata yang makin menghitam, kulit yang makin kering dan keriput. Tidak ada senyum, tidak ada wajah ceriaku. Aku ingin seperti dulu, selalu ceria bersama teman-temanku, walau sedih aku tetap bisa tersenyum, bahkan tertawa lebar. Aku jadi ingat temanku pernah bilang, "Hatimu terbuat dari apa sih, Ris? Nggak pernah marah walau diledek habis-habisan." Ya,itu beberapa tahun lalu. Saat aku masih selalu ceria, selalu tertawa dan tersenyum, tidak ada muka kusut begini. Aku sudah sangat cuek dengan diriku, aku sudah enggan mengurus diri. Berantakan setiap hari.
Kalian tidak sepenuhnya mengetahui tentang diriku. Apa yang sudah kulalui, kuhadapi, dan kuterima. Segala kenyataan pahit yang membuatku makin kuat. Aku pernah marah dengan Tuhan, mengapa aku yang dipilih untuk menghadapi semua ini? Dari berjuta orang di dunia, dari sekian banyak perempuan, mengapa harus aku? Namun, pada akhirnya aku menyadari satu hal. Dengan diberinya cobaan ini, Tuhan sangat sayang denganku, Tuhan ingin aku ingat denganNya, bahwa aku masih punya dan selalu punya Dia.
Apakah kalian pernah merasakan hal yang sama denganku?
Bagaimana sulitnya membuat keputusan?
Apakah lebih baik bertahan atau tidak?
Bagaimana aku bisa bertahan dan menjalankan satu paham?
Bagaimana menentukan langkah yang benar yang harus aku ambil?
Bimbang di banyak hal?
Merelakan sesuatu yang sangat diperjuangkan dulu?
Menghadapi kemungkinan buruk?
Bagaimana sulitnya membuat keputusan?
Apakah lebih baik bertahan atau tidak?
Bagaimana aku bisa bertahan dan menjalankan satu paham?
Bagaimana menentukan langkah yang benar yang harus aku ambil?
Bimbang di banyak hal?
Merelakan sesuatu yang sangat diperjuangkan dulu?
Menghadapi kemungkinan buruk?
Sekali lagi, aku hanya butuh kalian, Temanku. Aku butuh nasehat-nasehatmu. Maaf jika caraku menyampaikan salah.
Ada satu yang ingin aku tanyakan kepada kalian. Jika kalian berada di posisiku, apakah kalian bisa sekuat aku?
Parakan, 24 Mei 2015; 10:11
Aulia RA
Kepada Orang yang Baru Patah Hati
Posted by Aulia RA , Saturday, 16 May 2015 13:09
Kepada orang yang baru patah hati
Persilahkan dirimu bersedih
Orang-orang punya pandangan yang aneh tentang bersedih
Seakan-akan bersedih adalah hal yang tabu
Seakan kamu harus buru-buru tertawa setelah hal buruk menimpa
Persilahkan dirimu bersedih
Orang-orang punya pandangan yang aneh tentang bersedih
Seakan-akan bersedih adalah hal yang tabu
Seakan kamu harus buru-buru tertawa setelah hal buruk menimpa
Tapi tidak
Seperti hujan di tepi senja, kamu harus membiarkan setiap sendu yang ada
Setiap kematian butuh peratapan
Begitupun cinta yang telah mati
Seperti hujan di tepi senja, kamu harus membiarkan setiap sendu yang ada
Setiap kematian butuh peratapan
Begitupun cinta yang telah mati
Maka lakukanlah apa yang orang patah hati lakukan
Menangis hingga kamu tidak bisa mendengar suaramu sendiri
Makan coklat sebanyak-banyaknya
Mandi air panas hingga jarimu pucat
Pergi ke cafe dengan tatapan nanar
Pesan satu buah es teh manis
Karena kopi mungkin terlalu pait untuk diminum di saat seperti ini
Izinkan lah dirimu bersedih
Menangislah seakan ini terakhir kalinya kamu dikecewakan seseorang
Menangislah seakan kamu lupa cara nya berharap
Menangis hingga kamu tidak bisa mendengar suaramu sendiri
Makan coklat sebanyak-banyaknya
Mandi air panas hingga jarimu pucat
Pergi ke cafe dengan tatapan nanar
Pesan satu buah es teh manis
Karena kopi mungkin terlalu pait untuk diminum di saat seperti ini
Izinkan lah dirimu bersedih
Menangislah seakan ini terakhir kalinya kamu dikecewakan seseorang
Menangislah seakan kamu lupa cara nya berharap
Kepada orang yang baru patah hati
Setelah kamu bosan bersedih
Inilah saatnya kamu mengangkat dirimu kembali
Mulai dengan hal yang mudah
Kamu bisa mulai mencoba mengambil gitar
Dan mengambil nada-nada mayor yang bahagia
Ambil piano dan bermain soneta yang indah
Atau jika kamu tidak bisa bermain musik
Lihatlah dirimu di depan cermin dan bersenandunglah
Lalu diantara nada-nada itu bisikkan kepada dirimu sendiri
“AKU PANTAS UNTUK BAHAGIA”
Setelah kamu bosan bersedih
Inilah saatnya kamu mengangkat dirimu kembali
Mulai dengan hal yang mudah
Kamu bisa mulai mencoba mengambil gitar
Dan mengambil nada-nada mayor yang bahagia
Ambil piano dan bermain soneta yang indah
Atau jika kamu tidak bisa bermain musik
Lihatlah dirimu di depan cermin dan bersenandunglah
Lalu diantara nada-nada itu bisikkan kepada dirimu sendiri
“AKU PANTAS UNTUK BAHAGIA”
Kepada orang yang baru patah hati
Selalu ada teman untuk menemani kamu
Pergilah bertemu temanmu
Tertawalah sampai lupa waktu
Tanyakan kabar teman yang lain
Pamerlah keberhasilan mu
Dibidang-bidang yang kamu suka
Dan jika memungkinkan nongkronglah sampai kamu diusir dari tempat itu
Emang sih kenangan terhadap dirinya kadang masih sering mengganggu
Tempat yang pernah kalian datangi tidak akan terasa sama
Teman yang belum tahu mungkin akan menghampirimu dan bertanya
“Si dia mana ya?”
Yang kamu akan balas dengan senyum tipis
Entah bagaimana menjawabnya
Tapi percayalah satu hal
“SEMUA INI AKAN BERLALU"
Sama seperti hal lain di dunia
Semua hal buruk pasti akan beranjak pergi
Hujan pasti akan terganti langit biru
Gelap pasti terganti terang
Dan luka pasti terganti dengan senyuman tipis di bibirmu
Selalu ada teman untuk menemani kamu
Pergilah bertemu temanmu
Tertawalah sampai lupa waktu
Tanyakan kabar teman yang lain
Pamerlah keberhasilan mu
Dibidang-bidang yang kamu suka
Dan jika memungkinkan nongkronglah sampai kamu diusir dari tempat itu
Emang sih kenangan terhadap dirinya kadang masih sering mengganggu
Tempat yang pernah kalian datangi tidak akan terasa sama
Teman yang belum tahu mungkin akan menghampirimu dan bertanya
“Si dia mana ya?”
Yang kamu akan balas dengan senyum tipis
Entah bagaimana menjawabnya
Tapi percayalah satu hal
“SEMUA INI AKAN BERLALU"
Sama seperti hal lain di dunia
Semua hal buruk pasti akan beranjak pergi
Hujan pasti akan terganti langit biru
Gelap pasti terganti terang
Dan luka pasti terganti dengan senyuman tipis di bibirmu
Kepada orang yang baru patah hati
Bersabarlah
Karena di setiap gelap ada cahaya kecil
Karena di setiap sakit ada pembelajaran
Karena kamu
“PANTAS UNTUK BAHAGIA KEMBALI”
Bersabarlah
Karena di setiap gelap ada cahaya kecil
Karena di setiap sakit ada pembelajaran
Karena kamu
“PANTAS UNTUK BAHAGIA KEMBALI”
-Raditya Dika
Terimakasih
Posted by Aulia RA , 08:27
"Selamat tidur, ya. Jangan lupa berdoa. Besok kalau udah bangun langsung kabarin aku supaya aku telepon."
Kalau ditanya siapa yang paling rindu membaca kalimat di atas, aku berani bersumpah demi apapun bahwa aku sangat ingin kita seperti dulu lagi, sehangat dulu lagi, dan seindah dulu lagi. Tapi, keadaan telah berubah, aku harus membiasakan diri untuk terlelap tanpa membaca chat-mu. Aku harus tidur tanpa berharap besok kamu akan menelepon dan menghubungiku.
Berat. Tapi harus aku jalani. Hidup berjalan ke depan bukan? Dan, aku ingin keluar sebagai pemenang, bukan pecundang.
Terima kasih untuk segala kenangan. Terima kasih untuk banyak pelajaran. Perlahan aku akan segera melupakanmu dan mencari penggantimu.
DD, 16/05/15
Subscribe to:
Posts (Atom)